"GUE JUGA BILANG APA, SHAFIYA!" bentak Laras, gusar, tatkala melihat sahabatnya memasuki kelas dengan air mata berlinang. Isak tangis tertahan dari gadis tersebut semakin menyulut emosinya.
Gadis berpita oranye itu memutar bola mata geram. Begitulah Shafiya. Dia itu sebenarnya cengeng! Melakonis kalau sudah berhuhungan dengan masalah romansa.
"Gini ya, Shaf. Lo tau sendirilah. Sadar diri, dong. Kak Raldi gimana, lo gimana. Lo suka bacaan cinta-cintaan, sedangkan Kak Raldi filsafat, politik, sejarah, dan hukum. Kak Raldi organisatoris, sementara lo? Rebahan di kamar atau ke kedai Brunneis! Kalian bener-bener bertolak belakang. Kayak konsep Yin dan Yang," ujar Laras blak-blakkan.
Darah Shafiya mendidih mendengar penuturan gadis berpita oranye yang terlalu blak-blakan tersebut. Berbanding terbalik dengan Retta yang selalu mendukung dan tidak banyak berkomentar, Laras justru terkesan sarkas serta selalu berterus terang. Tanpa sadar, kedua tangan gadis tersebut terkepal kuat.
"Kenapa, sih, lo dari dulu nggak pernah dukung hubungan percintaan gue!?" Amarah Shafiya tersulut juga. Gadis itu mendongak, melemparkan tatapan sinis kepada lawan bicaranya yang punya mulut sepedas Samyang.
"Gimana gue mau dukung, pilihan cowok lo aja terlalu tinggi," komentar Laras santai sambil membalas tatapan menghujam lawan bicaranya. "Murahan banget lagi cara lo deketin gebetan. Ya Ampun, Shaf. Lo bisa pake cara yang elegan."
"APA KATA LO!?" hardik Shafiya seraya menggebrak meja, gusar. Tatapannya memicing. Emosinya tersulut . "MURAHAN!?"
"Udah-udah! Kalian, kok, pada ribut, sih!" Retta menengahi. Melalui tubuhnya yang ramping, ia menyelinap di antara Shafiya dan Laras yang saling bersitegang.
"Bilangin, tuh, sama Shafiya. Lain kali, kalo cari cowok yang selevel. Jangan suka ngimpi ketinggian. Jangan halu-nya doang digedein."
"Jangan-jangan ... lo suka, ya, sama Kak Raldi?" tebak Shafiya impulsif seraya mendengus sebal. "Mangkannya, lo selalu berusaha menghancurkan rencana gue mendekati Kak Raldi karena lo merasa terancam."
"AMIT-AMIT GUE SUKA SAMA KAK RALDI." Setelah berteriak penuh penekanan, Laras beranjak di hadapan Shafiya dengan wajah memberengut sebal. Gadis berpita oranye itu meninggalkan kedua sahabatnya begitu saja.
Retta menghela napas kasar. "Shaf, lo tau sendiri, kan, sifatnya Laras gimana?" Ia mengerling Shafiya yang masih mengepalkan telapak tangan.
Alih-alih menjawab, Shafiya justru bergeming. "Dari sini, gue tahu, mana yang beneran teman dan mana yang bukan."
***
Biasanya, sepulang sekolah ketiga anak manusia itu kerapkali menghabiskan waktu di kedai Brunneis.
Biasanya, ketika di kedai Brunneis, mereka sering bertukar cerita atau saling berbagi novel romansa keluaran terbaru.
Biasanya, kedai Brunneis merupakan tempat paling menyenangkan untuk berkumpul bersama di sela padatnya rutinitas.
Namun, kali ini bukan termasuk 'biasanya'. Karena hanya Shafiya dan Retta yang berada di sayap barat kedai coklat tersebut tanpa kehadiran gadis berpita oranye.
Sejak istirahat pertama tadi, bendera konfrontasi antara dirinya dan Laras telah resmi dikibarkan. Perang dingin di antara mereka baru saja dimulai. Shafiya yang selalu menghindar, sementara Laras menunjukkan sikap seolah tidak terjadi apa-apa, membuat gadis berambut sebahu itu semakin dongkol saja.
Bagaimana bisa Laras secepat itu melupakan perang mulut ketika istirahat pertama?
"Nih, satu es coklat buat lo." Retta menyodorkan segelas cairan bewarna coklat pekat dengan aroma vanili menyeruak.