Panduan Mendekati Gebetan

diffean k.a
Chapter #6

Tips 3: Chit Chat Bagian 2

Langkah pemuda bergigi gingsul itu terayun gontai tatkala menginjakkan kaki pada lantai marmer kedai Brunneis. Semerbak aroma coklat swiss yang legit menyambut indra penciumannya sejak kali pertama mendorong pintu kaca kedai tersebut. Perpanduan antara lelehan coklat, karamel, kayu manis, susuk bubuk, menguar bersamaan ketika lonceng kecil di atas pintu masuk berdenting menandakan adanya pelanggan baru.

Jika ada yang bertanya, hal apa yang paling ia rindukan dari kedai Brunneis, tanpa ragu ia akan menjawab: es coklat yang tiada duanya.

"Kak Raldi?" Suara familier itu menyapa indra pendengaran pemuda tersebut. Atensinya sontak terusik.

Layaknya orang normal lain ketika disapa, pemuda ber-hoodie putih itu melayangnya tatapannya pada sesosok gadis berambut sebahu yang berdiri tak jauh dari meja kasir.

"Hai juga, Shaf," sapanya, lirih seraya mengedarkan pandangan. Berusaha menghindari sepasang mata bulat Shafiya adalah cara terbaik karena Raldi enggan mengulangi kesalahan yang sama layaknya tiga tahun lalu.

Semburat kekecewaan terlukis sempurna di wajah lawan bicaranya. Sejurus kemudian, gadis berambut sebahu itu merogoh ponsel. Tangan kanannya bergerak mengulurkan benda persegi panjang tersebut kepada pemuda yang telah mencuri hatinya. "Belum baca chat dari aku, kan?"

Berjarak dua langkah dari tempat Raldi berdiri, seorang gadis bermata hazel sedang mengamati interaksi keduanya dalam diam.

"Ah, maaf ya, Shaf. Tadi chat kamu tenggelem sama grup organisasi." Jika Shafiya mampu membedakan mana seseorang yang berkata jujur dan berbohong, maka ia akan dengan mudah mengenali gerak-gerik Raldi yang termasuk kategori kedua. Berbohong. Akan tetapi, ia tidak memiliki kemampuan dalam bidang tersebut.

Sebenarnya, Raldi tidak membenci Shafiya. Bukan pula tidak menginginkan kehadiran gadis berambut sebahu tersebut. Hanya saja, kejadian tiga tahun silam membuatnya waspada terhadap seseorang yang memiliki perasaan lebih dari teman terhadap dirinya. Ia hanya ingin berteman. Berteman baik saja. Tanpa ada ikatan maupun perasaan lebih.

Namun, Shafiya justru salah mengartikan sifat ramahnya ketika ujian akhir semester. Pemuda tersebut bahkan selalu ramah kepada semua orang. Bukan hanya Shafiya. Shafiya saja yang terlalu bawa perasaan.

"Jadi, gimana, Kak? Kakak mau nggak kita diskusi bareng?

"Raldi, aku pesen dulu, ya." Tidak betah menjadi pengamat, Gistav akhirnya angkat suara. Gadis itu menyela pembicaraan keduanya sesaat sebelum memamerkan seulas senyum cerah kepada Shafiya. Kemudian, ia segera beranjak menuju meja di sayap timur kedai.

"Kak, Raldi. Bisa?" tanya Shafiya harap-harap cemas.

Satu gelengan singkat dari Raldi, sukses membuat Shafiya memberengut sebal.

Tidak tahu kenapa, Raldi selalu saja menolak ajakannya pergi berdua. Tetapi, lain cerita jika Gistav. Mungkinkah Raldi menaruh perasaan kepada gadis bermata hazel tersebut?

"Sekali aja. Boleh 'kan, Kak?" Bukan Shafiya Mayrelza namanya jika gentar terhadap penolakan Raldi.

Raldi menggigit bibir bagian bawahnya, sangsi. Melihat sorot memohon Shafiya membuatnya tak enak hati jika menolak. Setelah menimang cukup lama, pemuda itu akhirnya mengangguk menyetujui.

Cuma sekali, doang, Ral. Cuma sekali.

Shafiya melonjak kegirangan tatkala Raldi mengiyakan ajakannya. Berarti tandanya, tips tiga berhasil, bukan?

"Kenapa mau diskusi sama Kakak?

"Aku pengen kayak Kak Raldi," jawab Shafiya, polos. Tatapannya menyorot lugu Raldi seraya tersenyum malu-malu.

Alis Raldi spontan terangkat sebelah. "Kenapa? Nggak ada yang spesial dengan diri Kakak."

"Pemikiran Kakak yang selalu menerapkan critical thinking." Shafiya tersenyum tulus. "Keren. Nggak banyak anak SMA sekarang yang udah bisa mikir sampe ke situ. Kenapa bisa gitu, Kak?"

Raldi menghela napas lelah. Ia melayangkan tatapan sekilas pada Gistav yang kini sibuk dengan es coklat dan buku tebal di hadapannya. Lalu, kembali melirik Shafiya secara tentatif. "Oke, pembahasaan lebih lanjut besok, ya, pas di perpus." Setelah mengatakan hal tersebut, Raldi berbalik. Berjalan menuju kasir tanpa mengindahkan Shafiya.

Berbagai pertanyaan menyerang benak Raldi terhadap perubahan sikap Shafiya. Dulu, seingatnya, Shafiya itu adik kelas yang manis. Tidak agresif seperti sekarang. Adik kelas teman sebangkunya ketika ujian akhir semester yang sering mengoceh sepanjang waktu tentang tokoh-tokoh ilusi dari novel romance favoritnya, atau kerapkali bercerita mengenai serial K-Drama yang membuatnya menangis sesenggukan. Tidak jarang pula, membicarakan sesuatu yang tidak penting lainnya. Dulu, Raldi akan meresponnya dengan supel. Kadangkala, ikut tertawa sesekali.

Namun, yang perlu digaris bawahi, itu dulu. Bukan sekarang. Sebelum perasaan cinta yang hadir di antara Shafiya dan dirinya meluruhkan sikap ramah Raldi. Terpaksa, ia harus membangun tembok pembatas tak kasat mata agar mencegah tindakan Shafiya yang terlalu jauh. Ia hanya takut, Shafiya semakin jatuh hati kepadanya. Jika gadis tersebut bawa perasaan karena Raldi memakai aku-kamu jelas ia salah besar. Pasalnya, aku-kamu selalu ia gunakan kepada setiap orang. Dia tidak suka menggunakan lo-gue. Lebih nyaman menggunakan aku-kamu. Tapi, kenapa gadis tersebut justru keegeran, sih?

Celetukan sang kasir menyadarkan Raldi dari lamunan panjang. Buru-buru pemuda tersebut mengeluarkan dompet untuk membayar nomimal yang tertera di struk pembayaran. Setelah mengucapkan terima kasih, ia beranjak menuju tempat Gistav berada.

Lihat selengkapnya