SMA Dharma Bakti sedang disibukkan dengan acara Festival Kesenian Siswa dalam beberapa pekan ke depan.
Festival kali ini digadang-gadang akan menjadi festival paling meriah karena berdasarkan rumor yang beredar, pihak sekolah bersama panitia tidak tanggung-tanggung akan mengundang guest stars Raisa Andriana sebagai spesial bintang tamu. Acara tersebut pula usut punya usut diadakan di lapangan belakang SMA Dharma Bhakti yang super luas.
Selain penampilan spesial dari Raisa, ada pula penampilan setiap kelas untuk memeriahkan. Maka dari itu, tak heran keriuhan mampu kita didapati di kelas XI IPS 1 yang mulai sibuk mempersiapkan penampilan di malam Festival Kesenian Siswa. Laras yang keras kepala agar menggunakan konsep pertunjukkan musikal untuk kelas mereka, sementara Nandan selaku ketua kelas memiliki pendapat berbeda, sukses membuat Shafiya berdecak malas. Di tengah keributan kelasnya serta antusiasisme para murid SMA Dharma Bakti menyambut Festival Kesenian Siswa, gadis berambut sebahu itu justru menghela napas gerah alih-alih bersemangat. Ia melangkahkan kakinya beranjak dari kelas. Sebelum sosoknya benar-benar menghilang ditelan belokan koridor, gadis itu sempat mengecek pipih persegi panjang di saku kemejanya. Akan tetapi, ekspetasinya dipatahkan realita. Tidak ada notif apa pun dari Raldi. Shafiya mendesah berat.
Sudah terhitung lima hari sejak janji Raldi menemuinya di perpustakaan, pemuda idealis itu membatalkan janjinya secara mendadak.
Kecewa? Tentu. Jangan ditanya seberapa kecewanya Shafiya mengetahui pesannya belum dibalas padahal pemuda tersebut online. Hal yang diimpikannya sejak dulu terpaksa pupus tatkala mengingat kesibukan Raldi sebagai ketua pelaksana Festival Kesenian Siswa. Pemuda organisatoris itu harus membatalkan janjinya dengan Shafiya untuk mengkoordinir segala sesuatu yang berhubungan tentang festival tahunan sekolah ini.
Langkahnya yang lebar tanpa sadar membawa Shafiya di depan ruangan berpintu lebar dengan papan penanda 'Ruang Panitia FKS Dhamra Bakti'.
Kepala Shafiya melonggok pada kaca besar jendela pintu FKS. Tidak sulit baginya untuk menemukan sosok Raldi. Pemuda itu sedang berbincang dengan seorang gadis bermata hazel....
Tunggu, bermata hazel?
Bola mata Shafiya terbelalak menyadari siapa gadis yang tengah mengobrol dengan gebetannya.
Itu si anak baru! Teman sebangku Raldi sekaligus seseorang yang kemarin date bersama pemuda itu di kedai Brunneis. Tapi, kenapa keduanya terlihat akrab sekali bahkan sesekali terbahak? Tawa Raldi terdengar lepas pula ketika bersama gadis bermata hazel tersebut.
Coba bandingkan saat bersanding bersama Shafiya. Apakah Raldi juga akan seperti itu? Jelas jawabannya tidak. Raldi yang dia ketahui, bersifat kaku, idealis, dan tidak pernah ramah terhadap dirinya.
Namun, kenapa saat bersama si anak baru itu dia mampu bersikap terbuka?
Satu kemungkinan buruk melintas di pikiran Shafiya.
Raldi memiliki perasaan lebih dari teman terhadap Gistav.
Maka dari itu ... dia berusaha jutek kepada Shafiya?
Pasalnya, ada hati lain yang sedang dijaga.
***
"Serius?"
Raldi mengangguk antusias. "Iya, Bang Agam juga nanyain kamu semalem."
Tawa renyah kembali meluncur pada bibir merah muda alami Gistav. "Hahaha, suruh dia cepet lulus kuliah dulu, Ral. Skripsian sana. Udah bangkotan juga," canda gadis bermata hazel itu yang dibalas Raldi dengan decakan sebal.
"Heran aku sama Bang Agam, dulu motivasi dia masuk jurusan Sastra Indonesia karena pengen ngejar---" Ucapan Raldi menggantung di mengudara, tatkala pandangan matanya tanpa sengaja bersirobok dengan sorot terluka Shafiya. Manik mata gadis berambut sebahu itu tampak berkaca-kaca, sukses membuat Raldi dirundung perasaan bersalah.
Raldi mendesah panjang. Hal yang paling dia takuti sekarang. Setelah pamit undur diri karena ada keperluan mendadak, Raldi berusaha mensejajari langkahnya dengan Shafiya yang sedang berlari menghindar.
Raldi sebenarnya merasa bersalah karena telah membatalkan janji begitu saja kepada adik kelasnya itu. Perasaan tidak enak menelusup di batinnya. Tapi, urusan mengurus Festival Kesenian Siswa terpaksa membatalkan janjinya dengan Shafiya.
"Shaf," panggil pemuda tersebut ketika didapatinya Shafiya berlari kecil sambil menunduk di sepanjang koridor.