"Jaga ini, ya." Seulas senyum lebar merekah di bibir gadis bermata teduh tersebut. Satu tangannya terulur menyerahkan sebuah kotak musik dengan pasangan pengantin yang saling mengitari panggung kecil di bagian tengah. "Jangan sampe rusak."
"Kenapa buat gue? Itu, kan, kotak musik kesayangan lo?" tanya gadis yang lain.
Udara dingin kota Yogyakata menelusup melalui pori-pori gadis berambut sebahu tersebut. Memainkan helai rambutnya yang terhempas menampar-nampar pipi. Dia merapatkan jaket, menatap kosong gadis bermata teduh di hadapannya dengan sebongkah tanda tanya.
Menghela napas lelah, gadis bermata teduh itu lagi-lagi menyunggingkan senyum lebar. "Kalo gue bisa, gue bakal jaga kotak ini sendirian. Sayangnya, gue nggak mampu untuk itu," keluhnya seraya mengalihkan pandangan.
"Tapi kan---"
"Jaga aja, Gis. Please, demi gue. Itu satu-satunya barang berharga yang gue miliki untuk saat ini." Setelah memberikan kotak musik tersebut, gadis bermata teduh itu tiba-tiba memutar haluan. Beranjak meninggalkan Gistav seorang diri di jalan Malioboro yang sunyi karena fajar belum sepenuhya menyingsing.
"Waktu gue udah nggak lama," ucapnya, getir, tanpa menoleh ke belakang. Selanjutnya, bayangan tubuh gadis itu lenyap membelah jalanan.
Bruk.
Tiba-tiba, tubuh Gistav terhuyung ke lantai marmer. Secepat kilat, gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali. Ia meringis lantaran tubuhnya yang terjatuh dari atas ranjang.
Mengusap wajahnya gerah, ia berdecak sebal. Mimpi buruk itu datang lagi. Sudah genap dua minggu, mimpi itu selalu mengusik waktu tidurnya dengan potongan peristiwa serupa. Hal tersebut tentu menciptakan kerinduan yang mendalam terhadap sosok gadis bermata teduh di dalam mimpinya.
Menurut orang-orang, fenomena tersebut disebut reccuring dreams. Salah satu penyebab reccuring dreams adalah masalah psikologis. Bisa juga lantaran kejadian masa lalu yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Namun, Gistav mengingkarinya.
Tidak. Sepertinya, dia sudah berdamai dengan masa lalu---meski belum sepenuhnya. Tetapi, kenapa mimpi itu tak pernah absen bertandang di malam hari?
Masih dengan piyama dan rambut sebahu layaknya sarang tawon, Gistav bangkit. Gadis itu menarik langlah menuju lemari pakaian. Tangannya dengan cepat bergerilya mencari sesuatu di dalam tumpukan pakaian. Hingga jemarinya tanpa sengaja menyentuh sebuah kotak merah muda berhias mutiara. Diambilnya kotak tersebut dengan gerakan hati-hati.
Gistav mengusap permukaan kotak musik getir. Membukanya perlahan seraya memejamkan mata. Alunan Für Elise terdengar syahdu memanjakan indra pendengarannya. Kenangan di dalam kotak musik itu menyeruak keluar. Menyesakkan. Berhamburan bagai kepingan fatamorgana.
Tersenyum pias, ditutupnya kotak musik tersebut lalu beralih ke nakas meja. Tepat setelah itu, sorot matanya mendapati sebuah potret lelaki berseragam putih abu-abu yang diambil secara candid. Jika saja gadis bermata teduh itu tidak pergi meninggalkannya, besar kemungkinan dia tidak akan bertemu dengan sosok pemuda di foto tersebut.
"Raldi, maaf," bisiknya, sendu, seraya menatap foto tersebut.
Ah, andai tiga tahun lalu dia peka terhadap keadaan.
Besar kemungkinan, semua tidak akan seperti ini. Dia juga tidak perlu memakai 'topeng' kemunafikan.
***