"Kak, kalo ini tau, nggak?" Shafiya menyodorkan kertas ujiannya secara diam-diam. Sementara tangan kanannya melingkari soal nomor 25 dengan goresan pensil. Mengerling ke arah pengawas ujian sesaat, gadis itu kembali menyorot penuh Raldi.
"Oh, itu." Raldi mengangguk, tampak mengerti. Tanpa berpikir panjang, tangan pemuda tersebut menyilang jawaban A pada soal pilihan ganda Shafiya. "Contoh di atas termasuk Hukum Gossen 1, Shaf."
"Kok, bisa?"
"Simpelnya, Hukum Gossen 1 dikenal dengan the law of diminishing marginal unity."
"Kepuasaan yang semakin menurun?"
"Bener banget! Coba kita analisis jawaban A." Raldi mengarahkan pensilnya pada kertas soal. "Della meminum es sirup pada gelas pertama. Menyegarkan. Lalu, meminum lagi pada gelas kedua. Sangat menyegarkan. Ketika gelas ketiga, terasa biasa saja. Gelas keempat, Della kekenyangan dan kemungkinan akan muntah. Gelas kelima, dia tidak mau minum es sirup lagi. Menurut kamu, kepuasaan Della semakin menurun nggak? Atau justru bertambah?"
Shafiya mengangguk. "Menurun."
Dalam hitungan detik, senyum Raldi merekah. Tidak hanya sekali dia menanyakan jawaban ulangan kepada kakak kelasnya tersebut. Sedangkan Raldi, tak merasa keberatan membantu Shafiya. Sikapnya ramah sekali. Kadangkala, saling pinjam alat tulis sambil melempar candaan---meski jayus.
Namun, keadaan itu berubah 180 derajat ketika Shafiya mengaku memiliki perasaan yang lebih terhadap pemuda tersebut. Raldi perlahan menjauh, acuh tak acuh dan tidak tersentuh.
"Ah." Shafiya mendesah, sebal.
Bu Nurul masih menyuarakan keinginannya menerangkan kebudayaan suku Maya. Akan tetapi, gadis itu tidak begitu antusias. Berkali-kali ia menguap lebar, bosan. Kenangan bersama Raldi menciptakaan kilas balik memilukan.
"Ret," bisik Shafiya sambil menyikut pelan lengan Retta. Berada dalam radius lumayan jauh dari papan tulis, membuat gadis itu leluasa berbicara di tengah jam pelajaran. "Kamar mandi, yuk."
"Ngapain?" Kening Retta otomatis berkerut.
"Sekalian ke kelas Kak Raldi. Masa gue nge-chat dari jam tujuh malem sampai sekarang pukul delapan pagi belum juga dibales! Di read aja masih untung. Lah, ini enggak. Ngeselin banget nggak, sih," dengus Shafiya mulai senewen. "Padahal, chat dia gue sematkan paling atas."
"Itu tandanya, lo bukan prioritas Kak Raldi. Tolong sadar diri, ya. Emang lo siapanya? Saudara? Pacar? Eh, lupa. Kok pacar, sih. Lo sama dia 'kan belum jadian. Nggak akan pernah jadian juga kayaknya." Lagi, dengan mulut blak-blakan yang tidak tahu situasi, Laras menyahut dari bangku belakang. Mulut pedasnya sedari tadi gatal ingin mengomentari hubungan sahabatnya dengan Raldi.
Mata Shafiya kontan mendelik tajam. Bahunya naik turun menahan amarah. Sialan. Perkataan Laras seperti tamparan telak yang tak kasat mata. "Jaga mulut lo."
"Apa? Gue bicara fakta," dalih Laras enteng sambil mengedikkan bahu tak acuh.
Menyadari situasi memanas antara Shafiya dan Laras, Retta menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Hidungnya mampu menghirup aroma ledakan perang dunia persahabatan kedua jika keduanya masih terus berdebat.
"Katanya, mau ke kamar mandi, Shaf? Ayo, sekarang aja. Gue juga kebelet," ajaknya mengalihkan perhatian gadis berambut sebahu itu. Dengan cepat, ditariknya lengan Shafiya menjauhi Laras.