"Raldii, lo ngutak-atik rak buku gue, ya?"
Baru saja mendorong pintu rumah, teriakan memekakan telinga tersebut sukses membuat pemuda berseragam putih abu-abu itu mengelus dada.
"Ngagetin aja sih, Bang," keluhnya, sebal. Bibir Raldi mengerucut lebih panjang beberapa senti. "Main nuduh seenaknya."
"Lo 'kan kemarin nyari buku Madilog gue." Agam masih berteriak di dalam kamar yang pintunya menjeblak lebar.
Seorang wanita paruh baya berusia hampir separuh abad berangsur tergopoh dari dapur. "Ada apa sih, Bang?" Paras wanita tersebut sekilas mengingatkan pada wajah Raldi. Minus mata belo dan hidung mancung, pastinya.
"Nggak tau tuh, Bu. Bang Agam nggak jelas banget. Males aku lama-lama sekamar sama dia," gerutu Raldi seraya menarik langkah menuju wanita tersebut. Mencium tangannya lembut, lalu mengucapkan salam. Pemuda itu kemudian beranjak ke kamar Agam yang merangkap sebagai kamarnya.
Sejak kecil, mereka berdua harus berbagi kamar karena rumah minimalist peninggalan almarhumah kakek hanya memiliki tiga kamar. Sedangkan, kamar yang satu lagi sengaja dimodifikasi ibu menjadi tempat penyimpanan kue-kue kering pesanan pelanggan.
"Aku kemarin emang lanjutin baca Madilog. Tapi, nggak sampai ngeberantakin rak buku Abang," bela Raldi, malas. Kedua bola matanya berputar tidak suka.
Agam mengerang berat. Kemudian, menyalakan kembali laptopnya untuk merevisi skripshit---begitulah Agam menyebut---dari dosen pembimbing. "Gue butuh refrensi bacaan, tapi buku yang gue cari nggak ada dengan kondisi rak yang awut-awutan."
Raldi mencibir. "Sudut baca di rumah ini 'kan banyak. Cari aja di sudut baca lain. Abang kali yang lupa naruh."
Penuturan Raldi bukan omong kosong belaka. Di rumah minimalist bertingkat dua ini, memang memiliki banyak sudut baca di setiap penjuru. Di bawah anak tangga, di dapur, ruang tamu, dan bagian lain. Bahkan, di kamar mandi saja ada rak buku.
Begitulah kehidupan keluarga Raldi. Semua penghuninya kutu buku dan bibliofilia. Ditambah lagi, Agam yang merupakan mahasiswa jurusan Sastra Indonesia membuat jejalan buku di rumah ini semakin tak terhingga.
Menaruh tasnya di atas meja belajar, Raldi membaringkan tubuh seraya memejamkan mata. Lelah. Itulah yang dia rasakan selama menjadi ketua panitia Festival Kesenian Siswa. Akan tetapi, rasa lelah itu hanya sebagian kecil dari minatnya terhadap dunia kepemimpinan.
Dilriknya jam weker yang bernaung di nakas sebelah ranjang. Pukul delapan lewat lima belas menit. Masih ada waktu untuk membaca buku, belajar, dan mendiskusikan hasil bacaannya bersama Ibu serta Bang Agam. Dia pun bangkit, digaetnya buku Masa Kelam Indonesia dari sudut baca terdekat. Masih mengenakan seragam SMA Dharma Bakti, pemuda itu tenggelam dalam setiap paragraf yang tertera.
"Ah, masa kelam Indonesia." Tatapannya mulai menerawang. "Orde baru, rezim Soeharto, penculikan para aktivis dan ... Bapak," gumamnya sendu, seakan mengingat cerita menyedihkan keluarga ini.
Menutup bukunya sesaat, Raldi melirik potret seseorang yang bertengger di tembok kamar. Di sepanjang sisinya terbingkai figura kayu beruliran rumit. Foto tersebut merupakan potret terakhir bapaknya sebelum penculikan aktivis ketika masa akhir order baru di tahun 1998.