Semilir angin berhembus memainkan helaian rambut panjang gadis bermata hazel. Daun-daun yang berjatuhan terhempas bergemerisik terdengar tenang. Gumapalan awan seputih kapas menggantung cerah di kaki langit. Pandangan mata gadis bermata hazel itu menyapu seisi penjuru, buket bunga di tangan kanannya ia remas lamat-lamat.
Kalut.
Satu kata yang mampu menggambarkan emosi berusaha ia pendam.
"Gue dateng, Ristav."
Perlahan, kakinya mulai menapaki tanah gembur di area pemakaman. Kristal bening berhamburan keluar, bahunya naik turun menahan isak tangis. Pandangan gadis tersebut kemudian terpatri pada pusara makam seseorang yang dulu sangat berharga di hidupnya.
Menunduk pias, dia berselonjor di samping pusara. Memeluk pusara tersebut erat seraya memejamkan mata.
"Hai, apa kabar?"
Hening. Tak ada jawaban, tentu saja.
"Mama-papa nggak bisa dateng. Maafin mereka, ya."
Hanya desiran angin yang menjawab pertanyaan retorisnya. Menghela napas berat, dia mengerti. Akan selalu seperti itu.
"Ah ya, gue bawa sesuatu," pekiknya seraya menegakkan tubuh.
Gadis berambut sebahu itu menepuk dahinya lirih, seakan baru menyadari sesuatu penting. Dengan gerakan cepat, dikeluarkannya sesuatu berbentuk kubus berkelir hitam dari dalam tas. Tak lupa, ia juga menggaet beberapa lilin warna-warni serta satu buah pemantik api. Setelah itu, menyodorkan kue tersebut di dekat pusara Ristav.
Dengan senyum getir yang masih tersungging, perlahan ia mulai menyusun sesuatu yang dimaksud.
Satu buah kue tart mini rasa oreo mulai ia buka bungkusnya hati-hati. Lima buah lilin warna-warni ia ditancapkan pula pada permukaan kue. Menyalakan api di atas lilin-lilin itu, kemudian isaknya tak terbendung.
Tangan kanannya memegang kue ulang tahun, sementara bibir merah mudanya carut-marut mempertahankan seulas senyum.
Kalo lo sedih, jangan nangis. Tapi senyum. Senyum yang lebar. Bilang pada diri lo sendiri i'm fine, i can do it. Dengan begitu, lo akan tersugesti kalo semua bakal baik-baik aja. Semua bakal happy ending. Jadi, jangan lupa tersenyum. Begitulah kata Ristav tiga tahun yang lalu, oleh sebab itu ia berusaha merealisasikan apa yang dikatakan kembarannya meski terasa sulit.
"Happy brithday to us. Happy brithday to us. Happy brithday happy brithday, happy brithday to us." Nyayian lagu selamat ulang tahun yang dibawakan gadis berambut sebahu itu terdengar menyayat hati. Memilukan siapa pun yang mendengar.
"Selamat ulang tahun untuk kita berdua, Ristav," ucapnya dengan suara parau. Memejamkan mata sejenak, dia mulai meniup lilin-lilin tersebut penuh harap.
"Tiga tahun berlalu, Ris, gue selalu merayakan ulang tahun sendirian. Biasanya juga sama lo. Kita sering rebutan pas tiup lilin begini." Senyum gadis berambut sebahu itu mengembang kala mengingat kebersamaannya dulu dengan Ristav.
Ah, tiga tahu yang lalu.
Kenangan manis bercampur pahit itu tiba-tiba berhamburan terbuai. Keping memorinya menari-nari menciptakan kilas balik memedihkan. Menyeruak, berusaha mengais lupa.
Andai saat itu dia ada di lokasi kejadian.....
Andai saat itu dia lebih peka terhadap kode yang diberikan Ristav....
Andai saat itu dia ikut dengan mama di Jakarta....
Ah, terlalu banyak pengandaian yang tak mampu membuat Ristav kembali. Di sisinya.
***
Selama dua jam lebih, mata hitam pemuda tersebut hanya terpejam-terbuka tanpa mau diajak terlelap. Ia bangkit, mengacak rambutnya frustrasi lalu kembali berbaring di tempat tidur.
Masih sama. Kantuk itu belum juga singgah. Menghela napas gerah, ia mulai berguling ke sebelah kiri ranjang, kemudian pindah posisi di sebelah kanan.
"Bang," panggil Raldi pada Agam yang sudah meringkuk di balik selimut ranjang sebelah.
"Abang," celetuknya lagi lebih keras.