Gerimis kecil mengguyur Kota Jakarta semenjak dua jam yang lalu. Gumpalan kapas abu-abu-abu bergelayut di langit tak hentinya memuntahkan kesedihan. Kilat menyambar-nyambar apa saja yang dilalui, meraung-raung seolah menunjuknya siapa yang paling hebat.
Di tengah gemuruh hujan deras tersebut, seorang gadis berseragam putih abu-abu tengah berteduh di dalam salter. Terhitung satu setengah jam ia menunggu kedatangan seseorang. Sebenarnya, Gistav ingin menolak ajakan Agam yang mengantarkannya pulang, tetapi pemuda itu mengkhawatirkan kesehatan Gistav yang rawan kambuh akhir-akhir ini.
Jadi, di sinilah dia sekarang. Merapatkan jaket sembari mengayunkan kaki ke udara kosong. Salter dekat SMA Dharma Bakti mulai sepi, satu persatu siswa yang dijemput memasuki transportasi masing-masing, serta beberapa yang lain naik ke angkutan umum.
Deru sepeda motor yang terdengar sukses membuat gadis itu menengadah, seorang pengendara motor tertutup jas hujan berhenti tepat di depan salter. Dia menaruh helm, kemudian beranjak menuju salter setengah berlari.
"Maaf, ya." Lelaki berkemeja kotak-kotak itu menyugar rambutnya yang sedikit basah, lalu mendaratkan pantat di sebelah Gistav. "Tadi hujannya deres banget dan gue lupa bawa jas ujan. Ini aja minjem temen dengan paksaan."
Menggeleng singkat, Gistav menyahut, "Nggak papa, kok."
"Kenapa lo nggak pulang bareng Raldi aja?" Diusap wajahnya menyesal "Karena gue lo jadi nunggu lama."
"Raldi ngurusin FKS. Kemungkinan bakal pulang jam lima, bahkan lebih." Tangan kanan Gistav terulur, melirik arlogi silvernya. "Masih dua jam. Ditambah lagi, dia sebagai ketua panitia yang musti mengkoordinir segala sesuatu."
Lelaki berkemeja flanel kotak-kotak itu mengusap tengkuknya seraya mengingit bibir bagian bawah, terlihat salah tingkah.
Menyadari gelagat anehnya, Gistav menoleh, dengan alis terangkat sebelah. "Kenapa, Kak?"
"Gue mau ngomong sesuatu." Merasa ini momen yang tepat, pria itu akhirnya memberanikan diri.
"Apa?" Gistav sedikit berteriak karena suaranya tersita oleh derasnya rintik hujan.
"Lo cantik, Gis." Pemuda itu menyalipkan helaian rambut kecoklatan Gistav ke belakang telinga, "Tapi, lebih cantik lagi kalo jadi diri sendiri."
Di bawah raungan hujan yang mendayu-dayu, perasaan Gistav seketika terluka. Sesak bergumul menghimpit dadanya. Kejadian tiga tahun lalu tiba-tiba saja menciptakan kilas balik. "Makasi, Kak Agam. Tapi gue lebih suka diri gue yang sekarang."
"Kenapa?" Agam memerhatikan wajah gadis bermata hazel itu lamat-lamat. "Kenapa nggak pernah jadi diri sendiri? Gue tahu, Gistavia Ezperanza yang asli nggak se-introvert ini."
Tawa sinis Gistav menderai. "Tau darimana?"
"Raldi." Terdengar helaan sesaat. "Lo nggak pernah berbaur sama anak kelas lain, lo selalu menyendiri, lo tertutup dengan dunia luar, lo---"
"Raldi juga terluka," sela Gistav, cepat.
"Tapi, dia nggak berubah. Dia masih jadi dirinya sendiri. Raldito Wiratama." Agam mengacak-acak rambut Gistav lembut---bentuk perhatiannya yang lain. "Lo sama Raldi itu lucu. Butuh pelarian atas rasa terlukanya. Raldi lebih memilih tidak ambil pusing dengan masalah romansa dan gila-gilaan sama organisasi, sementara lo? Lo berubah jadi orang lain, Gis."
"Ada pihak lain yang terluka atas bentuk pelarian Raldi."
"Siapa?"
"Shafiya."
"Ada korban lain juga yang terluka atas pelarian lo. Jangan tanya siapa Gis, karena gue orangnya." Agam tiba-tiba bangkit dari duduknya, kemudian menggandeng lengan Gistav menuju sepeda motor yang terparkir di tepi salter. "Yuk, pulang."
Hening. Gistav memilih bungkam menuruti permintaan Agam. Ia menerima helm dalam diam dan memakai jas hujan yang disodorkan Agam lalu duduk di kendaraan tersebut tanpa suara.