"Den, lo 'kan anak OSIS dari zaman SMP. Menurut lo, jadi ketua OSIS, tuh, harus gimana, sih?" tanya Shafiya iseng seraya mendaratkan pantat ke sofa ruang keluarga.
Di luar dugaan, respon adik tirinya tersebut justru cenderung hiperbola. Dia memandang Shafiya dengan sorot ngeri dari atas sampai bawah sembari meloncat ke samping kakak tirinya. "Lo kesurupan, Mbak?" tanyanya, linglung.
"ASTAGA! INI BENERAN SHAFIYA MAYRELZA KAKAK TIRI GUE YANG CENGENG MINTA AMPUN DAN TUKANG REBAHAN ITU BUKAN, SIH!?"
Merasa kesal terhadap tanggapan adiknya yang berlebihan, Shafiya mengerucutkan bibir. Dilemparnya bantal sofa tepat ke wajah Auden seraya berdecak geram. "IYA, INI GUE SHAFIYA MAYRELZA!"
Auden menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sejurus kemudian, pemuda tersebut menempelkan telapak tangannya ke dahi Shafiya dengan penuh kecurigaan. "Nggak panas, kok."
"Gue nanya serius, Auden," seloroh gadis berambut sebahu itu, malas."Gue tuh menjalani apa yang tertera di buku Panduan Mendekati Gebetan."
Auden memicingkan mata. Mulai curiga. "Kenapa nanya-nanya tentang ketua OSIS, lo mau daftar jadi ketua OSIS?"
Hening mengambil alih keadaan. Shafiya tampak menimang-nimang aksi nekatnya sejenak. Gadis berambut sebahu tersebut mengigit bibir bawahnya---tanda jika sedang berpikir keras.
Menghela napas berat, Auden menghempaskan tubuh di samping Shafiya, sorot matanya kini berubah serius. "Mbak, jadi ketua OSIS itu amanahnya berat. Apa lo yakin, hanya karena cowok mau terlibat dalam organisasi merumitkan begitu? Gue tahu mbak, lo anaknya mageran dan males berurusan sama hal semacam itu." Dia menghela napas panjang.
"Jadi ketua OSIS juga nggak melulu tentang leadership. Tapi, lebih dari itu," lanjut Auden seraya menepuk lirih telapak tangan Shafiya.
"Apa gue punya jiwa kepemimpinan?" gumam Shafiya yang ditunjukan kepada dirinya sendiri.
Tangan kanan Auden merangsek menepuk pelan bahu gadis berambut sebahu tersebut memberikan dukungan. "Pikirin mateng-mateng dulu." Lalu, pemuda itu beranjak menuju lemari camilan di meja dapur.
Selama beberapa saat, Shafiya mulai merenungi perkataan Auden. Benar juga. Dia tidak pernah aktif berorganisasi. Selalu pasif. Bagaimana bisa dia menjadi ketua OSIS? Lawakan yang lucu, bukan?
Namun, di buku panduan tertera tampil mencolok di depan gebetan. Jika Shafiya terpilih sebagai ketua OSIS, pasti dirinya akan lebih bersinar di mata Raldi.
Lagipula, bukankah di periode sebelumnya Raldi juga pernah mencalonkan diri sebagai ketua OSIS tetapi gagal? Jika saat ini dia berhasil, Raldi pasti kagum kepadanya.
Harusnya, begitu. Namun, ia tidak tahu apa kata semesta.
***