Berkali-kali Shafiya melirik arlojinya. Oke, sedikit melenceng dari rencana awal. Mungkin, jalanan ibukota sedang tidak mendukung. Barangkali, Raldi lupa dengan janjinya.
Gadis berambut sebahy itu menghembuskan napas lelah. Menyadarkan tubuhnya pada kursi kayu teras rumah, ia kembali menghubungi Raldi.
Shafiya Mayrelza
Kak Raldi, jadi, kan?
Terhitung dua puluh pesannya yang terkirim belum dibaca sama sekali oleh pemuda tersebut. Padahal, jarum jam menunjukan pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Terlambat tiga puluh menit dari rencana awal.
Shafiya meyakinkan diri sendiri jika Raldi pasti menepati janji. Raldi tentu hadir meski sedikit terlambat dari rencana awal. Dia nanti akan di sini, di sampingnya. Mereka akan berdua menyusuri kawasan cheap book center surganya para pecinta buku bekas dan langkah. Lalu, berdiskusi sepanjang obrolan.
"Positive thingking, Shaf. Pasti jalanan Jakarta macet, akhirnya Kak Raldi telat," gumamnya pada diri sendiri.
Namun, angan-angan itu hanya tetap menjadi imajiner semata. Arlojinya berderit menunjukan pukul sebelas siang. Make up tipisnya mulai luntur terguyur keringat. Rambut sebahu hasil catokannya lusuh karena terlalu sering dibuat bersandar ke tembok. Tangisnya nyaris saja meledak.
Enggak-enggak, Kak Raldi dateng. Dia pasti dateng!
Dua jam berlalu begitu saja. Masih dengan ketidakpastian akan keabsenan Raldi pada janji diskusinya hari ini di toko buku bekas. Shafita menangkup wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangan. Pesan-pesan dari dirinya belum kunjung dibalas. Jangankan dibalas, di-read saja tidak.
Pintu rumahnya tiba-tiba terjeblak, menampakkan seorang pemuda dengan hoodie hitam yang sedang memutar-mutar kunci sepeda motor sambil bersiul ceria. Langkahnya refleks terhenti saat dilihatnya kakak tirinya itu menangkupkan wajah lengkap dengan gurat kesedihan.
"Kenapa, Mbak?"
Hening. Shafiya melirik Auden sekilas lalu mengecek ponselnya. Masih sama. Tidak ada balasan Raldi. "Oke, telat tiga jam. Mungkin macetnya panjanggg banget sampe dia nggak inget." Dia pun memaksakan seulas senyum lebar.
"Kak Raldi nggak dateng, Mbak. Udahlah, nggak usah ditungguinz" celetuk Auden seraya memandang Shafiya penuh rasa iba.
Sebagai respon, Shafiya menggeleng lirih. Meski kata hatinya mengiyakan ucapan Auden.
Menghela napas berat, adik tirinya itu mengalah, ia mengangkat kedua tangan di udara. "Oke, fine kalo itu mau lo. Gue mau pergi dulu."
"Ke mana?"
"Jalan, sama Maudy anak kelas sebelah."
Tiba-tiba, ingatannya menampilkan potongan kilas balik ketika Raldi mengajaknya pergi ke toko buku, berjalan berdua di jejeran toko sambil berbincang fenomena sosial, mendiskusikannya, dan saling berbagai buku-buku menyenangkan. Namun, kenapa sekarang Raldi ingkar janji?