Panduan Mendekati Gebetan

diffean k.a
Chapter #21

(Non Tips) A Syndrome Heartwaming

"Baru pulang, Dek?" tanya seorang wanita paruh baya lembut ketika melihat putra bungsunya tengah mengunci pagar rumah.

Sang rembulan telah menggantikan tugas raja siang menyinari permukaan bumi ketika Raldi baru tiba di rumah. Pemuda itu mengangguk lesu, memasuki teras rumah, lalu mengucap salam kepada ibunya.

"Gistav gimana?" Ibunya berjalan mengekor di belakang seraya membolak-balik buku catatan pesanan.

Langkah Raldi sontak terhenti, ia menoleh pada beliau dengan sorot mata yang sulit dimengerti. "Sekarang, sih, udah baik-baik aja."

Seakan paham dengan kode tersirat yang dikirimkan putranya, Arini menepuk bahu Raldi dengan penuh kasih sayang. Menarik pergelangan tangan pemuda itu perlahan, ia kemudian mengajaknya berbincang di sofa kecil dekat sudut baca.

"Ristav pasti beruntung banget punya sahabat kayak kamu." Ibunya membuka percakapan. Berusaha menyusun potongan kilas balik di masa lalu, "Karena kamu, udah jaga amanah dia dengan baik."

Dada Raldi terasa sesak dihimpit sebongkah batu raksasa. Oksigen di sekitarnya terasa menipis. Kenangan-kenangan itu hanyalah luka yang akan mendatangkan duka. Ia pun menggeleng lemah. "Justru Ristav yang bakal marah besar sama aku, Bu."

"Kenapa?" tanya Arini sambil menatap lekat-lekat iris hitam pekat Raldi. Ia sudah lama tidak merangkap menjadi teman curhat pemuda tersebut seperti dulu ketika putranya itu masih sekolah dasar.

Sejak pindah ke Jakarta 10 tahun yang lalu, Arini membuka usaha kecil-kecilan cathering kue lebaran untuk menghidupi dua anaknya. Seiring berjalannya waktu, usahanya berkembang pesat hingga jarang menjadi tempat keluh kesah Agam dan Raldi.

"Karena aku nggak bisa jagain Gistav. Karena aku nggak bisa jadi temen yang selalu ada buat adiknya. Karena aku nggak bisa nerima---"

"Emang kamu tahu, Ristav bakal seneng kalo liat kamu kayak gini terus?" Arini tersenyum, senyum keibuan yang sangat Raldi sukai.

"Seneng, haha. Bukannya Ristav marah sama aku, Bu?"

"Dek, hidup itu terus berjalan ke depan. Menoleh ke belakang sah-sah saja untuk memperbaiki kesalahan, tapi jangan terus-menerus terpatuk di sana. Kamu harus bangkit kalau nggak mau 'kesasar'." Arini tiba-tiba berdiri, ia menuju sudut baca di bawah tangga. Menggaet salah satu buku ber-cover tosca di sana, lalu menyodorkan buku tersebut kepada Raldi.

"Baca deh, Dek."

Raldi menghela napas. Kemudian mengangguk sembari memaksakan seulas senyum.

"Masa lalu itu bukan untuk dihindari, tapi untuk dihadapi. Dia hadir di kehidupan seseorang tidak untuk dilupakan, tetapi untuk diselesaikan.

Berdeham singkat, pemuda ber-hoodie hitam itu tertawa hambar. Arini tahu betul bagaimana sifat Raldi, ia jera membujuk anaknya tersebut untuk berani mengusir bayang-bayang masa lalu yang menghantui hidupnya.

"Emang kamu nggak capek gitu, Dek, kucing-kucingan mulu sama masa lalu?"

"Bukan gitu. Aku cuma belum siap, Bu."

Lihat selengkapnya