Panduan Mendekati Gebetan

diffean k.a
Chapter #24

(Non Tips) Melted

Mudah berputus asa bukanlah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kepribadian Shafiya Mayrelza. Gadis kurus berkulit putih pucat berpadu rambut sebahu tersebut termasuk seseorang yang tak mudah putus asa meski gagal berkali-kali. Akan tetapi, hal itu sudah terlalu basi bagi seseorang yang telah menjadi alasan utamanya membeli buku Panduan Mendekati Gebetan. Siapa lagi kalau bukan Raldito Wiratama!

Malam ini, harusnya menjadi malam yang indah dengan ratusan cahaya bintang berpendar ke permukaan bumi. Tak ada setitik mendung yang sedang menggantung di atas langit. Itu artinya, malam cerah bermandikan cahaya bintang dan bulan memancarkan gemerlap indah.

Akan tetapi, hal tersebut bertolak belakang dengan suasana hati gadis yang kini menyadarkan tubuh di balkon kamar sembari menerawang ke langit-langit. Sorot mata gadis itu terlihat sendu, tangan kanannya menggegam erat buku bersampul merah muda yang baru saja dibelinya beberapa pekan yang lalu.

"Kak Raldi yang memberikan harapan? Atau gue yang terlalu perasa?" gumam Shafiya pada dirinya sendiri.

"Harusnya, gue benci sama dia. Harusnya, gue lupain dia. Tapi, kenapa malah keinget terus!?" rutuknya sebal sembari menendang-nendang udara kosong.

"MBAKK, ADA TEMEN LO." Auden tiba-tiba berteriak dari dalam kamar. Pria yang memiliki selisih umur satu tahun dengan dirinya sempat menggedor pintu kamar sebelum menjeblak lebar.

Shafiya mendengus, mengabaikan perkataan adik tirinya. Naluri gadis tersebut menerka kemungkinan besar tamu yang dimaksud adalah Retta. Jika tidak, pasti Laras. Jadi, kenapa harus repot-repot menemui sang tamu? Kalau di antara mereka berdua---pasti tahu tempat favorit Shafiya di rumah semi-minimalist ini. Balkon kamarnya.

"Kesel gue, kesel. Emang ya, dari awal, gue sama Kak Raldi itu kayak konsep Yin dan Yang," gerutu Shafiya pada langit-langit malam.

Terdengar derap langkah seseorang yang berjalan mendekat. Bunyi gesekan kaus kaki dan lantai kamarnya beradu kamar mengisi kekosongan malam itu.

Shafiya masih saja bergeming, tak memedulikan suara samar yang semakin lama semakin jelas. Hingga tiba-tiba, pintu balkonnya berderit---ditarik seseorang dari dalam.

Shafiya yang menyangka itu derap langkah Laras ataupun Retta, lantas meraung melankonis tanpa mengalihkan pandangan dari gemerlapnya bintang. "Gils, gue galauuu. Gue potek."

"Shaf."

Deg.

Jantungnya kontan mencelus hebat. Aliran darahnya memompa puluhan kali lebih cepat. Matanya terbelalak sempurna. Bahunya terasa merosot.

Suara itu....

Suara itu terdengar jelas menyapa indra pendengarannya.

Bukan. Itu bukan suara judes Laras. Bukan pula suara jernih Retta. Ia sangat mengenali jenis vokal kedua sahabatnya.

Ia kenal pemilik suara tersebut.

Secepat kilat, tatapannya berpaling ke arah datangnya suara terdengar. Shafiya terkesiap. Didapatinya sesosok pemuda berjaket army polos dengan jeans belel memeluk sempurna tubuh jangkungnya.

Lihat selengkapnya