Buku bersampul merah jambu itu sudah lecek lantaran terlalu sering dibolak-balik gadis berambut sebahu tersebut. Ia menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar. Disodorkannya buku tersebut diam-diam kepada sesosok gadis berkacamata di samping mejanya.
"Gue harus gimana?" bisiknya, bimbang. Jemarinya menunjuk Tips 8 di buku itu.
"Menurut lo?" balas gadis yang satunya, tak kalah lirih. Matanya terfokus mengamati video proses terbentuknya bebatuan di layar proyektor.
Shafiya mengangkat sebelah alisnya, tampak sedikit skeptis. "Err ... memperjuangkan, sih. Tapi, yang diperjuangkan justru memperjuangkan cewek lain."
Retta tersentak, dengan cepat gadis itu menoleh ke arah teman sebangkunya. "Hah? Siapa?"
Bahu Shafiya tiba-tiba melorot. Gadis berambut sebahu itu menopang dagu seraya menciptakan lengkungan bulan sabit terbalik di bibir merah mudanya. "Kak Gistav. Kak Gistav sama Kak Raldi udah kenal dari dulu banget. Bahkan, kembarannya Kak Gistav aja sahabat kecil Kak Raldi. See? Gue hanyalah seonggok elektron di antara remahan upil."
"Tunggu," sela Retta, cepat. Ia menghentikan aktivitasnya sesaat, lalu mengarahkan tatapan mengintrogasi terhadap sahabat yang merangkap menjadi teman sebangku. "Lo tau darimana?"
Tidak sanggup menahan cerita tentang dirinya dan Raldi yang menghabiskan separuh malam hanya berdua di balkon kamarnya, cerita tentang peristiwa kemarin pun meluncur begitu saja dari mulut Shafiya.
Persis sesuai dugaan dirinya, mata Retta terbelalak lebar bersamaan tangan kanan yang terulur membungkam mulut sendiri. "Serius, lo?" pekiknya, tertahan.
Mencebik kesal, Shafiya menukas gemas, "Lo pikir gue bercanda? Astaga, tingkat ke-baper-an gue udah level internasional, loh, sejak insiden di balkon kamar." Ia sudah tidak peduli lagi dengan pelajaran Geografi di depan sana. Fokusnya tak beralih dari si ketua pelaksana Festival Kesenian Siswa.
"Tapi, Shaf, bisa aja gitu rasa perhatiannya Kak Raldi ke Kak Gistav cuma sebatas adik dan kakak. Nggak lebih. Not special."
Satu buah bohlam menyembul di atas kepala Shafiya saat mendengar sudut pandang Retta. Benar juga! Kenapa ia tidak terpikirkan selama ini?
Khawatir bukan berarti cinta.
Perhatian bukan berarti sayang.
Dekat bukan berarti terikat.
Kenal sudah lama bukan berarti memiliki.
Lengkungan bulan sabit terukir manis di bibir gadis berambut sebahu tersebut. Rencana melancarkan modal dusta sudah tersusun baik-baik di otaknya.
Ah, masih ada harapan untuk memperjuangkan, begitu pikirnya.
Akan tetapi, senyum manis itu tidak bertahan lama. Dalam sekejap, berubah cengiran masam kala sebuah penghapus papan tulis melayang tepat mengenai pelipisnya. Disusul ledakan tawa dari teman satu kelas.
Shafiya meringis, menahan sakit dari penghapus sialan yang telah menciptakan goresan hitam keabuan di pelipis kananya. Di sisi lain, ia menanggung malu akibat cemooh dari teman sekalas.
"SHAFIYA MAYRELZA, KELUAR KAMU DARI PELAJARAN SAYA."
***