Kelemahan terbesar Raldi kecil adalah, melihat Ibunya menangis dalam diam setelah dihina tetangga dengan kata-kata teramat sarkatik. Tidak heran keluarga mereka dikucilkan dan mendapat pendiskriminasian oleh warga sekitar di awal tahun 2000-an. Itu semua tidak lebih karena bapaknya merupakan tahanan politik pada era akhir orde baru.
Di tahun 1998, para tahanan politik dianggap sebagai musuh negara. Keluarga sedarah mereka akan mendapatkan sanksi sosial berupa: dikucilkan, dicaci maki, ditindas, dihina, didiskriminasi, dan tindakan asosial lainnya. Termasuk keluarganya.
Sedari dulu, ia sudah cukup sabar saat melihat ibunya diberhentikan paksa menjadi konservan museum karena istri tahanan politik. Entah bagaimana berita itu menyebar sampai ke pihak museum. Beliau harus banting tulang ekstra untuk membiayai dua anaknya setelah bapak yang seorang jurnalis politik diculik oleh negara.
Baginya, ibu adalah sumber inspirasi. Beliau merupakan sosok kutu buku yang tergila-gila dengan cabang ilmu Antropologi. Lebih lagi, Antropologi Budaya. Menamatkan gelar S. Sos di jurusan Antropologi Sosial Univeristas Airlangga, membuat ibu bertemu bapak---yang saat itu macan kampus dari fakultas Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial progam studi Ilmu Politik---satu fakultas dengan ibu. Seseorang yang paling lantang menyuarakan aspirasi ketika demonstran turun ke jalan. Seseorang yang kerap kali membakar semangat mahasiswa lain menggunakan toa di tangan kanan.
Mahasiswa adalah agent of change. Mahasiswa pembawa aspirasi bagi rakyat kecil. Mahasiswa mampu menjungkirbalikan pemerintahan. Mahasiswa dapat menjembatani rakyat dan pemerintahan, begitu prinsip idelis bapak dulu.
Sewaktu-waktu, ibu tersenyum tulus saat mengingat pertemuannya dengan bapak pertama kali di kantin FISIP UNAIR beberapa tahun silam. Akan tetapi, itu dulu sebelum bapak diculik oleh negara. Kini, yang tersisa justru air mata samar ibunya setiap malam dan rintihan memohon kepada Tuhan agar diberi petunjuk di mana keberadaan bapak sekafang.
"Ral?" Ristav tersenyum lembut. "Janji ya, meski aku pergi kita nggak boleh lost contac."
Ia tertawa hambar menyaksikan wajah berkaca-kaca Ristav. Kristal bening melebur di kelompak mata gadis bermata hazel tersebut. Gadis itu, satu-satunya orang yang mau berteman dengannya. Sosok yang mampu menerima reputasi keluarganya. Seseorang yang aktif dalam kegiatan 'seni memanusiakan manusia'. Jika gadis itu pergi, siapa yang akan menemaninya? Siapa yang akan menjadi tempatnya berkeluh kesah? Siapa yang akan membantunya melawan mulut-mulut racun orang yang merendahkan harga dirinya?
Alih-alih merespon, Raldi kecil justru memeluknya. Lama. Ia menahan kristal bening agar tidak lolos.
Perempuan paruh baya di hadapannya menunggu Raldi selesai mengucapkan salam perpisahan kepada Ristav. Sementara ibunya dan Agam bersalaman dengan mama Ristav yang akan membawa gadis kecil itu kembali setelah liburan lamanya. Ke Jakarta. Tempat yang memiliki jarak ratusan kilometer jauhnya dari Surabaya.
"Jaga diri baik-baik ya di Surabaya. Kalo kamu di-bully, selama itu nggak salah, lawan!"
"Kamu juga jaga diri baik-baik di Jakarta. Kalo ada kesempatan, aku mau nyusul."
"Beneran nyusul, ya. Nanti kamu aku kenalin sama Gistav. Dia pasti seneng."
"See you, Ral." Ristav melepaskan pelukan Raldi. Ia berusaha tersenyum tulus, lalu melaimbaikan tangan kanannya, mengajak salam perpisahan. Gadis kecil itu mendekat ke arah mamanya. Memeluknya erat.
Raldi hanya mampu bergeming menatap sosok yang berarti dalam hidupnya tersebut. Sampai bayangan Ristav menghilang di dalam awak pesawat pun, Raldi masih di sana. Berdiri berteman dengan hening.