Setelah berhari-hari bergulat dengan hati dan otaknya sendiri, kini Shafiya telah memutuskan, jika ia akan menyerah. Kesabarannya sudah berada pada ambang fase terendah.
Setiap orang pasti memiliki 'batasan'. Sama seperti tekanan udara kala evaporasi, ia juga mempunyai titik jenuh. Perjuangannya saat ini usai berakhir. Kandas sebelum terikat status istimewa. Dirinya sedang dipermainkan oleh semesta. Semesta memberikan Raldi beserta perhatiannya yang hangat, lalu membuatnya menghilang dengan kata yang sangat menyakitkan.
Teman.
Harapannya hancur berkeping dipatahkan setelah dibawa terbang jauh ke angkasa. Lalu, sedetik kemudian dijatuhkan untuk menghadap kembali pada realita. Luluh lantak hatinya tak bersisa.
Lelah.
Shafiya menyerah sudah.
Untuk apa memperjuangkan seseorang yang tidak memperjuangkan dirinya?
Ia hanya akan berjuang sendiri lalu patah seorang diri.
Meskipun gadis berambut sebahu itu memiliki sikap yang pantang menyerah, saat stok kesabarannya sudah mencapai ujung tanduk, ia akan menyerah juga pada akhirnya.
Menyerah bukan berarti kalah.
Ia hanya bersikap realistis terhadap keadaan.
Memang sedari awal, harusnya begini. Raldi terlalu sulit untuk direngkuh. Shafiya sadar akan hal itu. Jadi, apa yang musti diharapkan dari pemuda idealis tersebut?
Memantapkan tekad, Shafiya harus memilih opsi terberat dari hidupnya.
Mengikhlaskan Raldi.
Sebab, ikhlas merupakan obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka hati akibat kekecewaan.
***
"Kamu mau bikin apa, sih?" Seorang wanita paruh baya memerhatikan anak bungsunya dengan dahi berkerut.
"Kue buat Gistav. Waktu itu, aku cuma sempet ngucapin, Bu." Raldi menjawab pertanyaan ibunya dengan tangan fokus membalik-balik halaman buku resep.
Ibunya menggeleng sambil tersenyum. "Kejutan buat Gistav ceritanya?"
Sebagai jawaban, Raldi hanya mengangguk.
"Sendirian aja?" Dahi Arini berkerut, lengkap dengan sorot meminta penjelasaan.
"Sama temen aku, sih. Shafiya namanya."