"Gimana sekolah kamu?"
Pertanyan retoris yang sangat basa-basi. Gistav muak pada hal tersebut. Tetapi, ia menahan di balik senyum palsu melalui panggilan Skype melalui laptop.
"Baik," jawabnya singkat kepada wanita berusia puluhan tahun di depan layar. Perbedaan waktu kedua negara tak menghalangi Gistav bertukar kabar pada seseorang yang ia panggil 'Mama'.
"Kamu udah kelas 12, jadinya mau ngambil jurusan apa?"
"Kedokteran."
Wanita berahang tegas itu memebelalakan kedua matanya skeptis. "Kamu 'kan IPS, Gis."
"Gistav mau pindah IPA. Tapi, nggak boleh sama Kepsek selain ngulang kelas 10. Yaudah Gistav ngejar pelajaran IPA dari kelas sepuluh."
Menghela napas berat, wanita itu menimpali, "Itu cita-cita Ristav."
"Cita-cita Gistav selagi Ristav nggak ada."
Sebongkah batu besar seakan menghimpit dada wanita tiga puluhan tersebut. Kristal bening menumpuk di pelupuk matanya siap dimuntahkan. "Gis...."
"Apa? Bukannya Mama yang menginginkan Gistav seperti Ristav? Lagi pula, Gistav rela, kok, mengorbankan cita-cita pribadi demi anak kesayangan Mama itu," sindir Gistav, tajam. Senyum palsu di wajahnya perlahan meredup.
"Mama capek...," sahut wanita paruh baya tersebut parau sesaat setelah terjadi hening yang cukup panjang.
"Mama kira Gistav enggak?"
"Ayo, kita pulang," tukasnya dengan suara parau. "Kita mulai semua dari awal. Mama minta maaf kalau selama ini justru lebih banyak melukai perasaan kamu."
Seketika, Gistav terhenyak.
Pulang.
Haruskah ia pulang saat posisi Ristav tak mampu ia capai?
***
Selang beberapa jam setelah panggilan Skype dengan mamanya, Gistav membolak-balik buku album masa lalu sembari berbaring di atas tempat tidur. Album ini ia temukan di lemari pakaian bekas Ristav tepat di bawah kotak musik pemberian Raldi.
"Ris, gue kangen," gumam Gistav sendu. Kamar luas ini menjadi saksi bisu bagaimana dirinya berteman dengan kesepian dan terjebak oleh penjara masa lalu.
Ia ingin pulang. Tapi, bagaimana caranya pulang?