Gistav ingin kembali ke Yogyakarta. Namun, untuk apa dia ke sana? Kota Istimewa itu tidak lagi istimewa di mata gadis pecinta isu sosial politik tersebut. Tepatnya, semenjak Ristav memilih mengakhiri hidup dan Papa mendekam ke penjara, sebuah berubah abu-abu.
Yogyakarta menjadi semengerikan itu memang. Seandainya waktu itu ia lebih 'peka' terhadap kode yang diberikan Ristav, semua tidak akan seperti mimpi buruk bertubi baginya.
Ristav berkali-kali menceritakan tentang Raldi kepadanya. Malam ketika pengakuannya pun sudah jelas, akan tetapi mengapa ia menganggap semua akan berjalan baik-baik saja?
Bodoh.
Gistav mulai merutuki dirinya sendiri.
Pagi itu, setelah Ristav memberinya kotak musik pemberian Raldi--padahal kotak tersebut merupakan barang paling berharga bagi kembarannya, gadis itu segera pergi seolah dikejar waktu. Meski perasaan buruk menelusup di batinnya, Gistav tetap berpikir positif.
Alih-alih hal baik yang terjadi, semua kejadian justru berjalan di luar ekspetasi. Ristav ditemukan tak bernyawa di kamar rumahnya yang dulu setelah overdosis obat. Ristav mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu.
Gistav jadi tidak mengerti, kenapa saudara kembarnya sampai melakukan tindakan yang dilarang agama?
Setelah behari-hari Gistav mempertanyakan alasannya, Raldi memberikan pengakuan sambil tersedu di depan pintu apartemennya. Ada luka dalam sorot matanya. Perasaan kecewa, menyesal, sedu, semua bercampur pada raut wajah Raldito Wiratama.
Secara tidak langsung, Ristav meninggal karenanya.
Gistav sangat terpukul. Tidak mungkin! Ristav bukanlah orang dengan sumbu pendek begitu saat menyelesaikan masalah.
"Kenapa?" badan Gistav gemetar sementara air matanya menetes perlahan. Bersamaan dengan isak yang sayup-sayup mulai terdengar.