Terhitung satu jam, selepas acara kejutan ulang tahun gadis berambut bahu tersebut, Gistav menerima email dari seseorang yang ia panggil mama. Beliau mengatakan, akan bertandang ke Indonesia satu bulan kemudian.
Di depan layar monitor, ia terperanjat, niat mamanya sudah bulat untuk pulang. Tetapi, di satu sisi, ia belum sepenuhnya siap.
Bagaimana bisa ia memaksakan pulang jika ingatan Ristav saja tak pernah ia lupakan?
Ketika akan beranjak ke alam bawah sadar, Gistav teringat sesuatu. Amplop putih gading berlogo rumah sakit milik Ristav!
Saat akan membaca surat tersebut ketukan dari Agam dan kejutan ulang tahun dari Raldi dan Shafiya membuat ingatannya sedikit memudar terhadap amplop tersebut.
Ia pun beranjak dari tempat tidur, mengambil amplop milik Ristav dari nakas meja lengkap dengan sebuah kotak musik. Rasa penasarannya kembali membuncah kala tanpa sengaja mecarik kertas tersebut. Batinnya diserbu ratusan tanda tanya.
Mata hazelnya terfokus menilik huruf demi huruf yang tercetak di surat itu. Untuk sesaat, ia menahan napas. Sebulir kristal bening merembes melewati pipinya. Awalnya hanya satu-dua mampu dihitung jari. Lama-lama, mejadi deras hingga tak berbendung.
Jeritan tertahan lolos dari bibir Gistav, surat di tangannya ia dekap dalam-dalam. Sejenak, biarlah ia menangis histeris. Ditemani keheningan kamar. Dilingkupi rahasia besar yang baru saja terkuak.
"Raldi harus tahu ini."
***
Jika ada yang bertanya, apa hal yang paling Raldi khawatirkan, jawabannya tentu berkunjung ke makam Ristav. Raldi tidak siap dengan hal itu. Bahkan, saat hari terakhir sahabatnya pula, Raldi tidak berkunjung ke pemakamannya untuk berbelasungkawa.
Hari-hari selanjutnya tanpa kehadiran Ristav terasa lebih berat karena masa lalu yang menghantui. Ia merasa sangat bersalah kepada Ristav, terlebih kepada adik kembarannya. Andai saja dia menerima cinta Ristav, Gistav tidak akan kehilangan kakak kembaran kesayangannya itu.
Semesta menciptakan skenario seolah-olah dirinya yang paling bersalah dalam kasus ini. Raldi pun meretuk gusar, dengan cupcake sisa di atas meja makan, ia tatap lamat-lamat makanan bewarna coklat tersebut dengan sorot sendu.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang menyeruak dalam rumahnya yang hening. Raldi mengusap wajahnya kasar, berusaha menyembunyikan masalahnya dari banyak orang, lalu mulai melangkah membukakan pintu.
Alangkah terkejutnya pemuda itu tatkala Gistav yang berdiri di depan sana. Dengan air mata yang tumpah berjatuhan, gadis itu mendekap secarik kertas.
Kepanikan refleks menyerang perasaan pemuda itu. "Kamu kenapa, Gis?" tanyanya cemas sambil membimbing Gistav ke ruang tamu.
Gistav tak mampu menjawab. Bibirnya seolah kelu untuk mengucap barang sepatah kata. Bahkan, untuk meneguk salivanya pun ia tak sanggup. Sekarang, kertas yang sedang dipegangnya merupakan rahasia besar yang terlalu mendadak untuk dapat ia cerna.
"Kamu kenapa? Cerita sama aku."
Tidak sanggup untuk membeberkan rahasia yang baru saja ia ketahui, Gistav memilih bungkam seraya menyodorkan secarik kertas yang sedikit pudar.