“Astaga. I'm sorry, your clothes are broken. It's my fault. I'm really sorry,” ucap Galuh merasa amat bersalah telah merusak penampilan perempuan yang sepertinya salah satu peserta acara.
“Oh, gapapa Bu. Ini salah saya juga jalan gak lihat-lihat. Ibu tenang aja, ini masih bisa saya lap kok!” ucap perempuan itu ramah, menyimpulkan senyum di wajahnya. Seketika untuk beberapa saat membuat Galuh terpaku, seolah mengenal wajah manis di hadapannya, tapi ia tak ingat siapa yang ada di ingatannya. Dadanya sesak ketika ia menatap wajah itu, Galuh meneteskan air mata secara tak sengaja.
“Lho, kamu orang Indonesia juga? Kamu cantik sekali, saya kira kamu ….” Galuh benar-benar tidak menyangka perempuan cantik itu berasal dari negara yang sama dengannya. Ya, semua orang tidak akan mengira itu memang. Awalnya Galuh berpikiran seperti itu, karena kulit yang kecoklatan. Tidak bermaksud menghina, tapi pikir Galuh ia terlalu cantik dan manis, selain itu wajahnya tidak menunjukkan sisi bahwa perempuan itu seorang pribumi.
“Ah iya, Luna,” gadis itu menjulurkan tangannya untuk bersalaman, “Mama emang orang Indonesia, tapi Papa aku dari Perancis. Jauh banget ya? Hehehe.” Luna. Nama yang terasa familiar di kepala Galuh, entah ia pernah mendengarnya dari mana.
Wanita itu menyambut tangan Luna untuk bersalaman, saling bertukar senyum di wajah masing-masing. Entah kenapa Galuh masih merasakan sakit yang sama di dadanya. Tapi ia senang, ternyata tersesat di luar negeri bukan hal yang begitu buruk. Ia masih bisa bertemu dengan orang-orang baik dan berasal dari negara yang sama dengannya, seperti Luna. “Waahhh keren banget Mama kamuuu!! There must be an amazing love story, right?”
“Hey Krystal! Oh My God?! What are you doing here, Babe?! Come on!” Tiba-tiba saja seorang pria, yang jujur Galuh pikir tidak tampak seperti pria sesungguhnya, menarik lengan gadis muda yang tengah berbincang dengannya. Luna terhuyung, badannya ditarik pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal yang ramah, dan bahkan belum sempat mengenal Galuh. “Sorry! I have to go, nice to meet you!” teriak Luna, berharap masih terdengar Galuh karena ia sudah cukup jauh darinya.
*****
Amsterdam cukup menyenangkan untuk melepas penat setelah setiap hari Galuh membayangkan kepalanya akan meledak karena menatap layar komputer dan juga dengan orang-orang menyebalkan di kantornya. Syukurlah Adrian mengajaknya berlibur, jika tidak, pasti Galuh akan berubah menjadi debu halus di usianya kini, karena terlalu stress oleh pekerjaan. Sejujurnya bukan murni liburan, tetapi Galuh hanya menemani suaminya yang harus ikut konferensi kedokteran disini. Dan karena itu pula, ia berakhir di tempat ini. Padahal tadi Adrian sudah menegaskan, bahwa sebaiknya Galuh menunggu di kafe tempat mereka sarapan tadi saja, karena Adrian tahu istrinya ini pelupa utamanya bila berurusan dengan arah atau jalan. Akan tetapi Galuh rasa ia bukan gadis remaja, yang harus selalu dituntun orang tua, hingga sampailah ia benar tersesat di kerumunan dan akhirnya membeli 1 tiket pertunjukan bakat, dimana Luna yang tadi bertemu dengannya merupakan salah seorang peserta. Akan tetapi, masih ada satu hal yang tidak dapat Galuh yakini, sebenarnya nama gadis itu Luna ataukah Krystal?
“Ladies and Gentlemen! Let’s we see our best talent for today … Luna Sofia Aldéric!”
Wow. Fantastik. Dua kata tersebut yang langsung terbesit di kepala Galuh, sungguh penampilan yang memukau ketika ia melihat jemari-jemari lentik yang bersalaman dengannya tadi memainkan piano dengan lihai bak sang maestro, seirama dengan suara lembut bak suara malaikat dari mulut gadis manis bernama Luna itu. Galuh menatapnya, dari mana gadis itu memiliki mata sayup yang menenangkan, dari mana simpul senyumnya berasal? Kenapa namanya terasa tidak asing di telinga Galuh? Apakah mungkin serupa dengan seseorang yang ia kenal?
“It’s amazing absolutely! Where you found this one? Dari Mama kamu ya, pastinya?” tanya Galuh, ketika Luna turun menghampirinya dari atas panggung.
“Nope. But she was absolutely ‘The Best Mom’, i have ever had ….” Keduanya berpelukan, semacam tanda ucapan selamat juga terima kasih yang diucapkan pada satu sama lain. “Thanks for coming …?” Luna ingat ia belum tahu siapa wanita asing yang ia ajak bicara ini.
“Oh. Glad to see you, Galuh.”
“Jadi Ibu sengaja kesini, liburan, atau gimana? Sendirian?” tanya Luna ramah.
“Literally I get lost, and I’m here … as you can see with no one.”
“Perfectly! Aku bisa jadi tour guide …,” tawar Luna. Ia pikir bisa membantu Galuh sekaligus mendapat teman untuk berjalan-jalan dan mengobrol di sini. “Gak usah bayar. I just need a friend, hahaha.”
“Sounds great! Gimana kalau kita minum kopi yang enak? Kamu tahu kafe bagus di Amstel?” Sebenarnya kafe yang Galuh kunjungi bersama Adrian pagi ini cukup nyaman, tapi ia rasa kopi buatan barista di sana tidak terlalu cocok di lidahnya, ditambah Galuh tidak ingat jalan menuju ke tempat itu.
“Hmmm … I think, I have one!” Wajah gadis itu berseri, menuntun Galuh penuh semangat hingga menumbuhkan euforia tersendiri dalam benaknya. Perasaan apa ini? Pikir Galuh. Bahkan belum sampai setengah hari ia mengenal Luna, tapi mengapa rasanya seolah ia telah mengenalnya sejak lama?
*****
Sepanjang perjalanan menuju kafe yang dikatakan Luna sangat terkenal di Amstel, Galuh melangkahkan kakinya hanya dengan menatapi punggung gadis remaja yang membawanya dengan ceria. Bahkan dengan putra maupun putri bungsunya sendiri saja Galuh tidak merasa semenyenangkan ini, mungkin iya tapi ketika berjalan-jalan dengan mereka di masa kecilnya saja. Anak-anak Galuh terlalu acuh pada ibunya, mungkin ini juga karena salahnya yang lebih sering menghabiskan banyak waktu di kantor daripada di rumah.
Luna mendorong knop pintu kaca tersebut, menarik Galuh, membawanya masuk menuju salah satu meja di sebelah jendela yang sungguh dapat diakui mengapa tempat ini terkenal, interior yang unik menjadi ciri khas bahwa pengunjung sedang berada di Netherlands. Selain itu, aroma butter dan susu yang menggugah selera dari jajaran roti yang terpampang ketika membuka pintu sungguh sangat harum, jelas berbeda dengan kafe yang Galuh kunjungi pertama kali bersama Adrian begitu sampai di Amstel.