Pangeran Bumi, Kesatria Bulan

Mizan Publishing
Chapter #1

Prolog

Saya menyalakan lampu kamar kerjanya. Meletakkan mug besar berisi cokelat panas di meja. Lalu membuka laptop. Sambil berdiri membungkuk, ia memasukkan password, dan menunggu pekerjaan terakhirnya terbuka lagi di layar. Tirai jendela berkelepak mengejutkan. Angin yang menerobos masuk menyapa wajah, leher, dan rambutnya. Sejuk wangi. Maya menghirup udara dalam-dalam. Blessing in disguise, pikirnya. Sudah beberapa kali ia minta suaminya memperbaiki daun jendela yang sulit ditutup rapat itu. Belum sempat saja atau lupa atau kalaupun ingat, waktunya janggal untuk bertukang. Maya sudah pernah mencoba memperbaikinya sendiri. Tapi malah menambah kerusakan dengan palunya alih-alih membetulkan.

Dini hari seperti ini, angin membawa masuk harum kemuning di halaman, memberinya ketenangan dan kedamaian. Semacam aromaterapi untuk mengaktifkan imajinasi. Ia duduk dan mulai membaca halaman terakhir. Lalu mengetikkan kelanjutan kisah yang sedang ditulisnya. Untuk beberapa saat hanya ada bunyi ketukan halus saat jemarinya menari di atas keyboard, desahan napasnya, dan samar-samar paduan suara tonggeret serta desau angin di luar.

“Kamu meninggalkan aku lagi.” Plus suara merajuk itu di belakangnya.

Maya menjerit kaget. “Sudah kubilang, jangan suka muncul diam-diam seperti itu,”omelnya, sambil memencet tombol standby. Monitor gelap seketika.

Suaminya tertawa kecil. Lalu mendekat. Merangkul dari belakang. Menghujani puncak kepala, pipi, dan leher Maya dengan ciuman.

Maya memejamkan mata. “Aku tak bisa bekerja kalau begini ...,” bisiknya.

“Hm ... hmmm ....” Rangkulan itu tidak lepas. Suaminya malah berkata, “Mungkin sudah saatnya kamu buka rahasia. Apa sebetulnya yang sedang kamu tulis dalam sebulan ini? Kalau lihat dreamy face, soft eyes, ghost smiles, seperti ini, aku yakin kamu bukan menyiapkan laporan dan suratsurat membosankan untuk kantor.”

Maya tertawa. “Tebakan cerdas.” Lalu ia pura-pura berpikir untuk menggoda. “Ceritakan tidak, ya?” Dan ia mendapatkan gigitan gemas di cuping telinga sebagai akibatnya. Maya menjerit kecil dan mendorong suaminya menjauh. Lalu berlari ke sofa, tahu pasti akan dikejar. Sesaat mereka bergulat di sana dan tertawa-tawa, sampai keduanya sadar keributan mereka bisa membangunkan anak-anak. Bukan waktu yang tepat.

“Oke, oke, aku beri tahu,” kata Maya, menyerah di bawah impitan. “Aku sedang menulis novel pertamaku.”

Lihat selengkapnya