Juni, 2021
Bayiku kini sudah 1 tahun, aku semakin kurus sudah tak mampu merawat diri, terlebih ini adalah bulan ramadhan, aku pun ikut berpuasa. Tapi tak apa yang penting anakku sehat. Suami ku pulang dengan membawa kabar tak mengenakan. Sebelumnya aku jelaskam sedikit tentang pekerjaannya, dia bekerja di perusahaan bank keliling yang menyediakan jasa simpan & pinjam uang, dimana dia bertugas sebagai penagih, mendata, sekaligus melakukan pencairan pinjaman.
"Bey, kamu inget kan, aku dulu pernah bilang kalau aku ada masalah di kantor dan kemungkinan bisa kehilangan pekerjaan?" dia terduduk bersandar di pintu.
"Iya, kenapa?" Aku menatapnya sambil menggendong Baby Al.
"Sekarang kejadian." Dia menatap kosong ke lantai.
"Ada apa sih sebenernya?" Aku mendekat kearahnya.
"Si Firman menggelapkan uang perusahaan, buat nutupin uang minus karena kita banyak nasabah yang gak bisa bayar. Sekarang mulai ketahuan sama kakaknya yang masih atasan kita juga" Dia masih dengan pandangan kosong.
"Emang itu kelompok yang kamu pegang?" aku duduk disampingnya.
"Enggak, bukan! kelompok nya si Rey."
"Yaudah resign aja sih, tujuan kamu nyuruh aku tetep kerja biar aku bisa handle keuangan disaat kamu gak kerja kan? terus apa lagi yang kamu pusingin?" Aku mulai menaikan nada bicaraku.
"Udah, tapi si Firman gak mau kasih pengajuan resign aku ke HRD."
"Yaudah tinggal gak usah masuk lagi kerja, nanti pun dipecat kan? apa susahnya sih?"Aku semakin emosi dengan jawabannya.
"Gak bisa, kita tuh temen seperjuangan dari awal kerja, dia yang bikin aku naik jabatan." Dia menunduk menutupi wajahnya.
"Ya jelas, dia bikin kamu naik jabatan biar kamu juga dianggap punya kendali, biar kamu ikut dimintai tanggung jawab. Emang berapa kerugian perusahaan?" Aku sungguh kecewa, bisa-bisa nya dia beralasan Firman teman seperjuangannya, sementara aku yang menemani dia bahkan sebelum dia punya pekerjaan, aku yang menemani nya mencari kerja, aku yang berkorban merangkap jadi ibu, istri, sekaligus pencari nafkah, hatiku sungguh luka dengan ucapannya.
"1,2 milyar." Dia menghela nafas.
"segede itu buat nutup tunggakan? kamu yakin? dia resepsi aja gede-gedean, setelah nikah bisa langsung ambil KPR rumah dan isi rumahnya langsung lengkap, beli motor yang harganya mahal, barang-barang mahal, punya usaha tempat makan, sementara istrinya udah gak kerja juga. Aku rasa ini gak wajar." Aku mengernyitkan dahi.
"Enggak, aku tahu kok dia jadiin rumah mertuanya jaminan ke bank buat pinjam uang buka usaha, dia gak mungkin kaya begitu, orang-orang juga berfikirnya sama kaya kamu, tapi aku lebih tau dia kaya gimana. Ini juga aku gak dapet THR, aku gak ngasih uang dulu ke kamu ya, takut perlu buat peganganku nanti." Dia masih ngotot membela rekannya, seolah mengabaikan segala pengorbananku.
Hari demi hari berlalu, akhirnya kecurangan Firman dilaporkan ke kepolisian, dan suami ku terseret karena dia masih keras kepala bertahan bekerja disana, otomatis semua dipecat secara tidak hormat. Bukannya mencoba membujuk perusahaan untuk menyelesaikan secara kekeluargaan, Firman malah menyewa pengacara seolah menantang untuk maju ke jalur hukum, padahal jelas disini dia yang salah, dan parahnya suami ku mendukung dia. Hampir setiap hari dia berkumpul bersama kawan-kawannya untuk membahas kasus ini dengan pengacara itu.
"Kenapa harus pake pengacara sih?" Aku langsung menodong suami ku dengan pertanyaan ini, setelah melihat percakapannya di grup whatsapp bersama Firman.
"Udah, kita yakin bakal menang kok, kata pengacaranya perusahaan ini kan belum perpanjang legalitas bisa tuh kita permasalahkan, terus kita juga udah lama kerja, bisa lah nuntut pesangon buat nutupin kerugian segitu." Dia tersenyum meyakinkan ku.
"Sampai kapan kamu mau jadi pengangguran?" Aku sudah sangat geram melihatnya yang selalu berkumpul dengan teman-temannya.
"Kamu kan tahu aku lagi kena kasus ini, sabar dulu ya, kalau aku kerja terus nanti tiba-tiba ada panggilan dari kepolisian gimana?" Dia mengelus bahuku.
"Yaudah, ada loh motor, bisa ngojek atau apa kek, tunjukin rasa tanggung jawab kamu jangan ngurusin terus si Firman, aku cape loh berkorban terus sendiri, aku gak pernah ya nuntut kamu kasih berapa, selama kamu kerja pun kamu cuma kasih 1/2 gaji itupun diminta lagi buat keperluan kamu, kamu fikir cukup? jauh dari kata cukup. Aku gak pernah nuntut banyak hal, tapi tolong punya rasa tanggung jawab, anak kita banyak kebutuhan." Aku berbicara dengan menitikan air mata, dan tetap menahan bicaraku agar mama tak mendengarnya.
"Yaudah iya nanti aku daftar ojek online, maafin aku ya, udah jangan nangis lagi." Dia mengusap air mataku mencoba menenangkan.
Semenjak saat itu, dia mulai menjadi ojek online dan masih sering berkumpul dengan kawan-kawannya. Terkadang dia hanya membawa pulang uang 7ribu, malah pernah tidak sama sekali, tapi aku tetap berusaha untuk tidak mengeluh. Di sore hari seperti biasa, aku pulang kerja dijemput oleh Kak Ali yang baru mengantarkan penumpang. Kami berbincang di perjalanan.
Kak Ali : "Kamu tau gak si Rey tuh suka jajan diluar tahu, kemaren sampe istrinya kabur terus pulang lagi dibujuk dengan dikasih HP. Kamu tuh harusnya bersyukur, punya suami setia gak selingkuh, gak ada fikiran poligami. Mana sekarang kamu tepos kurus banget, haha."
Aku : "Ya udah simple sih, kalau kamu selingkuh apalagi mikir poligami berarti emang gak ada otaknya aja, istri satu aja gak bisa ngasih makan yang bener sampe kurus tepos begini kan. So mau 2"
Kak Ali : "Kok ngomongnya gitu sih nyakitin?"
Aku : "Ya mikir! Omongan kamu nyakitin gak? Ngebandingin kok sama temen yang berengsek, tuh se berengseknya si firman, dia kejebak kasus juga gara-gara nurutin kemauan istrinya yang apa-apa harus langsung dibeliin. Orang baru pulang kerja udah mancing emosi aja!"
Kak Ali : "Yaudah maaf bercanda."
Aku sudah sangat jengkel dengannya yang selalu berucap tanpa berfikir, dan berakhir dengan kata bercanda. Yang pada akhirnya membentuk diriku menjadi istri yang membangkang dan enggan menuruti kemauannya.
Aku mulai berfikir bagaimana caranya agar suamiku nanti bisa tetap mencari nafkah meski dengan status narapidana, aku harus memikirkan kemungkinan terburuk dari semua ini, ketika pulang kerja aku duduk berdua di kamar dengan ka Ali.
Aku : Bey, kamu kursus jahit ya supaya nanti kalau kemungkinan buruk terjadi, kamu masih bisa usaha cari nafkah."
Kak Ali : "Tapi kan kursus jahit lumayan mahal, darimana uangnya?"
Aku : "Kita pinjem uang ke bank ya gadein motor, aku kan kerja. Kita irit aja biar bisa bayar angsurannya."
Kak Ali : "Yakin kamu sanggup? Kamu kerja sendiri loh aku cuma ngojek."
Aku : "Iya, kita atur-atur aja nanti."
Akhirnya kami menggadaikan motor dan kak Ali mulai kursus jahit sambil mengojek.
Sudah setahun berjalan semenjak perusahaan melaporkan kasus ini ke kepolisian, hari hari kami lewati dengan penuh rasa was-was, beberapa bulan sekali selalu ada panggilan dari kepolisian, dari awalnya sebagai saksi kini sudah naik menjadi tersangka, suami ku yang semula yakin akan menang kini mulai gelisah. Ketika malam tiba, dia mendekatiku yang sedang duduk di kasur menyusui anakku.
"Sayang, kamu gak akan tinggalin aku kan kalau aku dipenjara? Aku titip jaga Al baik-baik ya."
"Bukannya kemarin kamu yakin banget bisa lawan perusahaan?" Aku menatapnya tajam.
"Iya, tapi gak ngerti lah semua nya gak sesuai yang dijanjikan di awal, si Firman juga mikirin dirinya sendiri doang sekarang." Dia mulai menitikan air mata.
"Itu kan temen seperjuangan kamu yang kamu perjuangin sejauh ini?" Aku mulai berkaca-kaca.
"Aku minta maaf." Dia terduduk di pinggir kasur sambil menangis.
"Yaudah, kita jalan-jalan dulu yuk sama Al ke taman kota." Aku berusaha menahan tangisku.
Sepanjang perjalanan aku tak henti meneteskan air mata sambil terus menatap anakku, tuhan apa anakku harus merasakan apa yang aku rasakan dulu? Tumbuh tanpa hadirnya sosok ayah? Tuhan, bila engkau mau menghukumku atas segala egoisku di masa lalu sungguh tak apa, tapi aku mohon aku tak mau anakku berada di posisiku dulu. Hatiku sesak, aku mencintai anakku lebih dari apapun, aku hanya ingin melihatnya bahagia dan tumbuh di keluarga yang lengkap, itupun tak bisa. Aku memiliki firasat bahwa ini adalah malam terakhirku bersama suamiku, kami berbincang dan aku berusaha bercanda di malam itu, walaupun hatiku sebenarnya sangat remuk.
23 Juni, 2022
Keesokan harinya seperti biasa, suamiku mengantarku bekerja dan mengojek, dia bilang siang nanti dia harus menghadapi panggilan untuk ke kantor polisi.
"Kamu yakin mau pergi?" Aku berusaha menahan tangis sambil turun dari motor.
"Iya, aku gak merasa makan uang perusahaan kok." Dia melempar senyum meyakinkan ku.