Malam ini seperti biasa, aku melanjutkan tulisanku sambil berbaring di kamar, dan aku menerima sebuah pesan dari Mbak Desi, "Ali udah sampai rumah tadi sore, Cindy." Rasa takut berkecamuk dalam hati, aku langsung menghubungi Rani.
Aku : "Assalamu'alaikum Ran."
Rani : "Wa'alaikum salam Cin, kenapa?"
Aku : "Kamu udah pulang kerja?"
Rani : " Udah, baru banget keluar nih, lagi nunggu jemputan belum dsteng juga daritadi."
Aku : "Kak Ali udah pulang Ran, aku harus gimana? Aku sebenernya takut ketemu dia, tapi aku harus selesain semuanya."
Rani : "Yaudah selesain dulu aja Cin supaya kamu lebih tenang lepas dari bayang bayang dia."
Aku : "Aku takut Ran, aku masih bener-bener trauma, semua bayangan kelam kemarin bermunculan semua di otakku. Aku mau mati aja Ran, aku menyesal kenapa dulu aku menikah, aku bodoh Rani aku gak pantes hidup." Aku terduduk di pojokan kamar sambil menangis.
Rani : "Tenang dulu Cin, aku takut kondisi mental kamu drop lagi nanti. Bayangin yang bahagia bahagia aja ya, eh Cin kemaren aku abis video call sama member NCT, aaaah mereka rebutin aku loh aku jadi tersanjung." Rani mengirimiku video hasil editannya yang seolah dia benar-benar video call dengan member NCT.
Aku : "Haha Ran kamu masih aja halu ya."
Rani : "Ih siapa tau salahsatu dari mereka twinflame ku kan, aku lagi mastiin nih mau pilih yang mana." Rani tak pernah berhenti mencoba membuatku tertawa dan melupakan segala sakitku. Soulmate itu tak selalu harus tentang pasangan romantis, tapi bisa juga sahabat atau saudara, dan kini aku tahu bahwa Rani adalah salahsatu soulmate ku.
Keesokan harinya di hari jumat aku berangkat bekerja seperti biasa, dan saat pulang kerja aku menerima telpon dari nomor tak dikenal dan aku yakini bahwa itu adalah Kak Ali.
Kak Ali : "Assalamu'alaikum Cin." Terdengar suara kak Ali dibalik telpon itu.
Aku : "Wa'alaikum salam."
Kak Ali : "Cin, aku disebrang pabrik. Aku tungguin kamu ya, aku minta tolong ad yang harus kita bicarain. Aku janji ini yang terakhir."
Aku pun berjalan dengan lemas ke arah luar dengan perasaan tak karuan dan menemuinya di sebrang, ternyata dia disana bersama Mbak Rahma.
Kak Ali : "Cin ayo!" Dia berusaha menyentuh lenganku, namun aku menghindar.
Mbak Rahma : "Ayo buruan naik, bonceng tiga aja, kita ngobrol di warung sana." Mbak Rahma menjalankan motornya.
Aku : "Yaudah kalian aja, aku jalan kaki aja."
Mbak Rahma : "Hiiih nyusahin, buruan!" Dia berbicara dengan nada tinggi.
Aku : "Gak usah, kaki ku masih berfungsi, udah kalian aja!"
Kak Ali : "Ayo sebentar aja!" Kak Ali sudah berada di motor berdua dengan Mbak Rahma.
Aku : "Kenapa gak di rumah aja si? Gak ngehargain banget ngomong serius di pinggir jalan" Aku mulai terbawa emosi melihat tingkah Mbak Rahma.
Kak Ali : "Di rumah katanya." Kak Ali menyampaikan perkataanku pada Mbak Rahma.
Mbak Rahma : "Alah rumah rumah, udah disini aja." Dia masih dengan nada tingginya.
Aku : "Gak ada rasa bersalah sama sekali ya udah bikin masalah gede? Gak inget anak? Namanya bapak tuh harusnya pertama kali pengen ketemu anak." Aku mulai emosi dan air mataku menetes.
Mbak Rahma : "Yaudah itu urusan nanti, sekarang disini aja dulu beresin. Ribet banget sih jadi orang. Aku gak bakal ikut campur kok." Sungguh aku sangat emosi melihat tingkahnya, hidupku sudah dibuat hancur, dan mereka datang dengan emosi tanpa ada rasa bersalah, menemuiku di pinggir jalan untuk membicarakan hal serius? Tak ada niatkah meminta maaf pada keluargaku karena sudah menghancurkan kehidupan anaknya? Sungguh aku merasa semakin tidak dihargai.
Kak Ali : "Kesana dulu aja ya mbak, kita ngobrol berdua dulu disini." Mbak Rahma pun memarkirkan motornya tak jauh dari kami.
Aku : "To the point."
Kak Ali : "Aku disuruh nelpon Bu Meta petugas lapas kalau sudah sampai rumah, karena kamu penjaminnya jadi harus kamu yang telpon."
Aku : "Oh pantesan ngedatengin karena ada butuhnya ya. Yaudah nih telpon sendiri." Aku menyodorkan hpku yang sudah terbuka chat dari Bu Meta sebelumnya. Kak Ali pun berusaha menelpon Bu Meta namun tak ada jawaban.