Pangeran dari timur

Bentang Pustaka
Chapter #2

Malam Tahun Baru (1)

Bandung, 31 Desember 1924 — 1 Januari 1925

***

Langit menjelang pergantian tahun bagai sudah bosan mengenakan busana lama yang lusuh dan gerah. Koloni awan malas beringsut, bagian tepi-tepinya di sisi timur disepuh cahaya tipis bulan. Angin menderu dingin, mungkin dari bukit utara, membuat sibuk daun pepohonan yang tegak berjajar menandai jalanan menurun dari arah Lembang. Pada sejumlah rumah petinggi, tampak limpahan sinar lampu dari jendela kaca membias ke halaman disertai suara gelak tawa tanda girang. Kesedihan, apa pun alasan dan bentuknya, sementara bersembunyi dari tangkapan mata dan telinga, tak terkecuali kawasan yang hanya tiga ratus depa dari pertigaan Nijlandweg1.

Rumah dengan rancang bangun bergaya modern itu memiliki ruang tamu yang luas, tidak mengandung batas tegas dengan ruang tengah, kecuali ditandai beberapa kolom beton yang menonjol lebih tebal daripada bentangan dinding. Interior mewahnya tampak digarap sejumlah tangan yang teliti dan membenci kecerobohan.

Dari tengah langit-langit terjulur lampu gantung, terbuat dari perak berukir, berkilauan memantulkan cahaya yang disemburkan sumber lain. Di bawahnya, sekelompok muda-mudi menari lincah, memenuhi hampir seluruh ruangan. Sebagian besar pria mengenakan tuksedo kombinasi putih-krem dengan dasi kupu-kupu hitam. Para wanita hampir semua mengenakan gaun tanpa lengan berwarna pastel biru atau merah jambu, sejengkal di bawah lutut, dengan ikat kepala berhias bulu atau topi cloche linen. Beberapa pelayan bumiputra dengan destar batik dan setelan separuh jas putih separuh sarung, sibuk hilir mudik membawa minuman dan makanan ringan.

Ada yang sangat menarik perhatian: pasangan dansa seorang pria Eropa paling mentereng dan seorang wanita bumiputra. Mereka menari di bawah mural reproduksi lukisan karya Alphonse Mucha. Dia adalah Johan Romita van den Beuken, anak Basil Cornellius van den Beuken, pemilik bangunan megah yang dari luar tampak menyerupai tubuh kapal itu. Dalam pelukannya, terperangkap manja seorang gadis bernama Ratna Juwita, pemilik muka langsat bulat telur yang menjadi pasangan dansanya.

Irama riang musik yang memainkan karya James P. Johnson terus-menerus dientakkan oleh kelompok pemusik yang berjajar dengan komposisi rapi di panggung yang terletak di antara ruang tamu dan ruang makan. Kini iramanya beranjak semakin cepat. Tiga pasangan dansa meladeni kegilaan irama itu: dentum bas yang berlari-lari oleh permainan seorang pemetik andal. Sementara itu, pedansa yang lain mulai menyibak, menepi, membentuk lingkaran, menonton dengan tatapan mata kagum. Kaki-kaki ketiga pasangan dansa itu melonjak-lonjak, ujung rimpel rok para wanita berkibas-kibas. Penonton dengan bibir dan mata tersenyum, memandang dan membiarkan keriangan dalam dada mereka meledak.

Irama musik Charleston dari Manhattan––yang dibawa berlayar ke penjuru dunia dan mewabah di kota-kota besar sejak tahun lalu––akhirnya mencapai klimaks. Dan, tiba-tiba Johan Romita, si glamor yang setengah Prancis setengah Belanda dan setengah mabuk itu melemparkan Ratna Juwita ke samping, berputar gesit dan menangkapnya kembali ke dalam pelukan. Terdengar tepuk tangan riuh, sementara mereka berdua tergelak.

Ketika musik beralih lembut dan romantis, pasangan itu bergandeng tangan keluar dari kerumunan. Mereka menyeberang ke beranda, menemui Petronella, seorang wanita Indo yang sedang memegang dua gelas minuman. Dia menyorongkan satu gelas kepada Johan. Laki-laki itu menyesapnya dengan rakus. Petronella menggeleng, lalu berpaling kepada Ratna.

“Maaf, tidak ada minuman untuk pencuri kekasih orang,” kata Petronella sambil tertawa. Tangannya melingkar ke pinggang Johan.

“Walau hanya sepuluh menit?” Ratna Juwita juga tertawa sambil meraih syal yang tadi dia titipkan kepada Petronella sebelum berdansa.

Petronella menatap mesra Johan. “Itu sudah perampasan total!” ujarnya pura-pura geram. “Dalam setiap pesta, hanya sepuluh menit saat berdansa dia tidak mabuk. Jam-jam berikutnya dia akan lupa segalanya. Lupa tunangannya. Aku!”

Pura-pura mabuk berat, Johan mendekatkan wajahnya ke wajah Petronella. “Siapa kamu?”

Petronella membalas dengan cubitan di pipi Johan. “Jangan cari aku lagi. Besok aku masuk biara!”

Lalu, dia menggandeng Ratna ke luar ruangan, meninggalkan serambi melintasi arena yang kini dihiasi musik berirama lambat dan beberapa pasangan berdansa dengan tenang. Keduanya menuju halaman belakang rumah, meninggalkan Johan yang menyeringai sambil mengangkat bahu.

“Aku mabuk tiga tahun penuh!” seru Johan di belakang mereka. “Aku lupa kamu Katolik. Aku tak boleh kawin dengan seorang Katolik, mengerti? Hei!”

Petronella dan Ratna mencari-cari tempat duduk. Berdiri di muka pintu, pandangan mereka memutar.

“Bulan depan kami ke ‘s Gravenhage. Aku ingin segera menjadi Nyonya Van den Beuken,” bisik Petronella.

Lihat selengkapnya