Pangeran dari timur

Bentang Pustaka
Chapter #3

Malam Tahun Baru (2)

“Siapa pelukis yang Ratna kagumi jika aku boleh tahu?” tanya Syamsudin.

Wajah Ratna terangkat, kedua bola matanya berputar mencari daftar nama yang tersangkut dalam ingatannya. “Rembrandt. Dia melukis dengan halus dan sungguh-sungguh. Tapi, seperti kataku tadi, saat ini aku sedang penasaran dengan Delacroix.”

“Wah, baru kali ini aku bertemu kawan bicara yang tepat,” kata Syamsudin memberanikan diri. Dia menyelesaikan isapan pipanya. Sisa tembakau ditumpahkannya ke asbak. Lalu, dengan sopan, tangan kanannya mempersilakan Ratna minum kopi. “Udara akan segera membuat minuman kita dingin.”

“Tapi, topik pembicaraan kita akan menghangatkannya kembali.” Ratna berseloroh.

“Kecuali jika hati kita dingin. Maaf, mungkin ini bukan ucapan yang baik.” Sekilas mata Syamsudin tampak cemas, tetapi Ratna membalasnya dengan senyum. Bagaimanapun, Ratna, yang dibesarkan di tengah keluarga intelektual, memahami sopan santun dan mengenal kiasan-kiasan dengan humor yang tidak vulgar.

Keduanya menghirup minuman. Tanpa sengaja, lensa mata mereka saling melawan arah kepala yang hendak tunduk ke cangkir. Sekelebat saling bertatapan, menciptakan desir tajam di hati Syamsudin.

Bunyi denting piring-piring dan cangkir yang dibereskan terdengar dari beberapa tempat. Sebagian pasangan masih menikmati es krim. Sebagian lagi telah masuk ke ruang tamu, lebur dalam warna lampu dan musik yang mirip rinai gerimis. Tenang, ritmis, sejuk. Biola yang seakan langsung digesek oleh tangan Stradivarius—menurut telinga Syamsudin—menggema hingga ke halaman belakang.

“Minum kopi tak boleh membatalkan pembicaraan kita. Sampai di mana tadi?” Ratna meletakkan cangkir dan melirik Syamsudin. Pemuda tampan yang memiliki garis-garis wajah ningrat itu terperangah. Dia pun menyudahi sesapan kopinya.

“Ya, ya, maaf. Rembrandt pelukis berbakat pada awal abad ke-16. Dalam penilaian banyak orang, dia sangat menguasai nuansa gelap terang pada sosok-sosok yang digambarnya. Sebetulnya, ada yang lebih tekun, sampai seolah begitu nyata gambar rincian renda-renda pakaiannya, tetapi Rembrandt memang lebih memukau banyak orang dibanding para pelukis lainnya di masa itu.” Syamsudin terlihat senang dapat menjelaskan serbasedikit pelukis Belanda yang memiliki masa kecil di Leiden itu.

“Apakah sejak masa itu aliran Romantik disematkan? Aku hanya mampu meraba-raba karena tidak tahu di bibliotek mana harus dicari sumbernya.”

“Bukan. Rembrandt hidup di masa ketika gaya Barok berjaya. Barok adalah pembaruan dari aliran Klasik. Untuk memudahkan mengenali aliran itu, dapat dilihat dari gelap terang yang sangat kontras dalam komposisi lukisannya dan dari kostum para manusia yang dilukis. Umumnya, Barok menampilkan postur seseorang atau beberapa orang yang berdandan berlebihan. Biasanya pejabat kerajaan dengan berbagai atribut, saudagar, atau seseorang yang dikenal dalam bidang agama,” tutur Syamsudin.

“Rembrandt piawai mengatur soal gelap terang,” lanjut Syamsudin. “Namun, untuk objek lukisan, dia justru memilih sosok manusia biasa yang dalam kesehariannya memiliki karakter kuat, bukan lantaran orang itu lahir di lingkungan istana atau gemerlap dalam gaya hidup yang mewah. Suatu kali akan kutunjukkan beberapa reproduksinya.”

“Amboi!” seru Ratna gembira. “Siapa berani menolak tawaran itu?”

Syamsudin hampir tak menduga, selekas itu penjelasan dia menarik perhatian dara jelita di depannya. Selama ini, ya mungkin sejak dia mendalami pengetahuan tentang sejarah seni lukis, tak seorang pun peduli kepadanya. Kecuali, tentu saja, para peminat budaya yang menghubungkan langsung dengan jenis pekerjaannya. Sebagai seorang arsitek, seni rupa menjadi hal yang wajib diketahuinya agar pelanggan lebih yakin dan percaya bahwa rancangannya memiliki akar kuat pada ranah kebudayaan. Kini, Syamsudin bahkan merasa tersanjung dan barangkali ini merupakan malam keberuntungannya, setelah sekian lama hanya menekuni gambar rancang bangun, perhitungan kekuatan beton, atau analisis biaya pembuatan sebuah gedung. Hampir saja dia berbisik, mengucapkan terima kasih kepada “peri” bernama Petronella.

“Setelah Rembrandt, aku akan menunggu dengan sabar ceritamu tentang Delacroix dan lebih lanjut mengenai gaya Romantik.” Ucapan Ratna mengembalikan Syamsudin ke bumi. Dia sedikit tergeragap, tetapi itu justru lebih menyenangkan karena sosok yang hanya berjarak sehasta di depannya adalah sebuah kenyataan.

“Astaga, betapa lalainya aku. Tentu saja, Delacroix ….”

Ratna menatapnya sungguh-sungguh, membuat Syamsudin bertambah gugup. Mata gadis itu bagai sepasang bintang yang beralih dari langit. Untuk mengurangi kegugupan, Syamsudin kembali mengangkat cangkirnya ke mulut.

Lihat selengkapnya