Pangeran Kelas

Coconut Books
Chapter #2

Gaga

Hanya satu kata sederhana yang pantas terlontar untuk dirinya... memesona

***

CIRI-ciri Bagas Arsenio Risjad: selalu berpakaian gaya, tepat waktu, suka makan roti gandum saat sarapan, hobi mengendarai motor, dan dia memiliki semacam magnet di dalam dirinya yang mampu mengundang perempuan tertarik padanya.

 Gaga nama panggilannya, dianugerahi daya tarik yang luar biasa. Dia memiliki badan yang tegap, berambut gelap, senyum yang karismatik, ditambah lagi sepasang mata yang tajam dengan alis tebalnya.

Jarum jam menunjukkan pukul tujuh saat Gaga melihat benda yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia harus segera bergegas mengenakan jaket, lalu menggendong tasnya, tidak lupa Gaga menyambar sarapan berupa roti gandum di meja makan.

Pagi ini, Gaga mengendarai motor besarnya dengan kecepatan sedang. Tidak butuh waktu yang lama dia sudah menempatkan motornya di parkiran sekolah. Ketika turun dari motor seperti ini, kemudian membuka helm dan menyisir rambut lebatnya dengan jari, hanya satu kata sederhana yang pantas terlontar untuk dirinya... memesona.

 Langkah kakinya ringan melintasi gerbang sekolah SMA Nusa Bangsa. SMA Gaga merupakan salah satu SMA yang terbilang ternama. Gedung sekolahnya tiga lantai. Pohon-pohon besar yang ditanam di halaman menambah kesan sejuk sekolah itu. Halamannya pun sangat luas. Ralat, mungkin kurang luas sampai-sampai ada seorang perempuan entah datang dari mana tiba-tiba saja langsung menabraknya. Bukannya langsung menjauh, perempuan itu justru menempel di tubuh Gaga beberapa detik sambil menengadah, memandangi wajah Gaga yang tampan.

 Hati perempuan itu menggumam, Ini cowok ganteng banget.

 “Ma-maaf...” Perempuan itu berusaha memberikan senyum terbaiknya, walaupun dia merasa malu dan gugup.

 Gaga memperhatikan seragam perempuan itu sesaat. Perempuan di hadapannya itu mengenakan seragam yang berbeda dari seragam resmi SMA Nusa Bangsa. Seragam yang dilapisi rompi bermotif kotak-kotak. Sudah pasti, anak baru.

 “Kalau jalan itu bukan cuma pake kaki, tapi lo perlu pake mata juga!” Gaga berdecak gusar.

 Kening perempuan itu berkerut. “Kok lo nyolot gitu sih? Gue sudah minta maaf kali...” Perempuan itu mulai kesal sendiri dan menarik kata-katanya beberapa saat lalu yang memuji kegantengan cowok itu.

 Gaga menggertak. “Maaf? Gue gak butuh kata maaf!” “Jadi, lo maunya apa?”

 Bel sekolah yang berbunyi dari berbagai penjuru kelas seketika menghentikan perdebatan mereka. Gaga meninggalkan perempuan entah siapa dia itu—dia juga baru lihat hari ini.

 “Woi... mau ke mana lo! Kalau orang nanya itu dijawab.” Ada dorongan yang amat besar dari dalam diri perempuan itu untuk memukul punggung yang menjauh itu, tetapi tak bisa. Jadi, dia hanya melemparkan bekas botol minuman miliknya ke arah cowok itu. Perempuan itu kaget, lemparannya tepat sasaran.

 “Bangke...,” umpat Gaga karena merasa ada sesuatu yang mengenai kepalanya sehingga membuatnya berhenti berjalan. Perlahan Gaga memutar badan dan serta-merta memberikan tatapan tajam pada perempuan itu. Mereka berdua pun saling tatap.

 Perempuan yang memiliki rambut lurus dihiasi jepit merah muda itu menggigit bibirnya sendiri. Dia menyesali perbuatannya. Namun, entah dapat bisikan mistis dari mana, perempuan itu justru mengacungkan kepalan tangannya, menantang cowok itu. “Apa lo...”

 Gaga memungut botol mineral yang mengenai kepalanya. Tangannya meremas dengan kuat botol mineral kosong itu. Setelahnya, dia berjalan perlahan mendatangi perempuan itu. Gaga menarik napas beberapa detik, ditahannya sebentar sebelum diembuskannya kembali.

“Lo pikir kepala gue tong sampah?” suara Gaga meninggi. Perempuan itu meneguk ludahnya berkali-kali untuk melegakan tenggorokannya yang tiba-tiba saja terasa kering, efek samping takut melihat sepasang mata tajam yang berkilat di hadapannya.

 Gaga mencoba menahan emosinya yang sudah ke ubun-ubun, cowok itu lantas mengulas senyum meremehkan. “Oh iya... jangankan mau buang sampah pada tempatnya, lo jalan aja gak bisa, kan? Masih suka nabrak-nabrak orang.” Gaga melipat kedua tangannya di depan dada. “Kenapa lo sekarang diam?” sambung Gaga kembali karena melihat perempuan itu hanya terkaku.

 Perempuan itu akhirnya merespons. “Lo bicara sama siapa? Gue?” Dia bersedekap mengikuti gaya Gaga. “Gue gak dengerin lo bicara dari tadi. Lagi pula kalau lo mau bicara sama gue harus bayar... BAYAR!”

 Gaga mengembuskan napas berat. Menatap sengit perempuan di hadapannya. “Sekarang lo menjauh dari gue,” perintah Gaga tak acuh.

 Perempuan itu mengerutkan kening, lalu tertawa meremehkan perintah Gaga. “Menjauh? Lo pikir kita pernah dekat? Lucu ya lo.”

 Gaga mengangkat botol mineral di depan wajah perempuan itu. “Sebelum gue pura-pura lupa di mana letaknya tong sampah, gue saranin lo pergi sekarang karena gue mau nimpuk lo sampai lupa ingatan.”

 Bibir tipis merah muda perempuan itu tertarik. “Coba aja kalau lo berani!”

Lihat selengkapnya