--------------------------------------------------------
Saat senam bersama berlangsung, Maleo terus memperhatikan Zizu. Gadis itu terlihat akrab dengan teman sekelas yang bukan anak gaul layaknya genk Billabelle. Dia tidak senam berdekatan dengan Sonata, Gusti Nanda dan Oktarani. Satu genk, satu kelas, tetapi kok tidak bersama?
Setelah senam usai, siswa kelas 2 kembali ke kelas untuk bersiap pelajaran pertama. Sonata membuang gelas Aqua yang telah kosong ke tempat sampah, tetapi memantul karena kepenuhan. Dia lalu kaget karena Maleo menyenggol lengannya, lagi. Sonata memukul pelan pundak Maleo yang kurus.
“Kamu kalau jalan hati-hati, Mal. Kenapa sih kamu selalu tergesa-gesa?”
Mal? Ini pertama kalinya Sonata memanggilnya dengan akrab seperti itu. Maleo menahan senyum. “Mau kubantu?”
Sonata melihat ke arah tempat pembuangan sampah yang agak jauh dari kelasnya. “Tapi kita lewat koridor aja ya, tidak lewat jalan belakang kelas. Kotor kan?”
Ya, nanti sepatu Sonata yang bagus itu penuh tanah. “Oke.”
Kemudian keduanya berjalan menelusuri koridor, melewati ruang laboratorium Kimia Fisika, membelok ke koridor deretan ruang kelas 1.E, 1.F, ruang komputer atau TI, kelas 2.F, dan 3.F. Maleo ingin menjadikan ini kesempatan untuk lebih dekat dengan Sonata.
“Ka~mu tidak malu jalan bareng denganku?”
“Jalan bareng?” dahi Sonata mengerut. “Kita kan hanya buang sampah. Tidak ada cowok di kelas kita yang mau buang sampah,” lanjutnya dengan raut menyesal.
“Sonata keturunan Jawa, ya? Bahasa Indonesianya tidak kaku.”
“Iya, Bapakku Jawa Timur, Ibuku Jawa Timur-Banjar. Karena aku tahu kamu warga pendatang, aku pakai bahasa Indonesia.”
Ah, pengertian sekali. “Selama ini... aku... sulit ngomong... sama yang lain karena mereka pakai bahasa banjar.” Bagi Maleo, ternyata enak sekali curhat pada Sonata.
Gadis murah senyum itu mengangguk. Dia pun tak begitu suka suasana sepi dan kaku, jadi dia senang hati menanggapi pertanyaan Maleo. Sayangnya, dia tidak sedang ingin tahu tentang Maleo. Dia lalu hanya mendendang lirih lagu dari Tere, Awal yang Indah.
Saat ku di dekatmu, isi hati kecilku bertanya, benarkah yang kau rasa, hanyalah diriku yang kupuja,
akankah ini selamanya, ataukah hanya semata
Tlah kuberi segalanya, cinta yang tanpa akhir, yang hanya tercipta untukku,
Mestinya semua ini jadi awal yang indah bagiku...
“Kamu sering membicarakan tentang lagu ketika di kelas.”
Sonata tersipu. “Bapakku guru musik. Jadi aku sedang belajar bermusik. Sungguh malang nasibku jika aku tidak bisa bergitar, hehe.”
“Jika tidak bisa bergitar, kamu masih bisa bernyanyi.”
“Aku juga ingin jadi penyanyi yang bisa menciptakan lagu. Seperti Tere. Tapi... aku perlu latihan lebih keras lagi, hehe.”
Maleo merasa terharu. Jadi sekarang dia resmi menjadi teman curhat Sonata? Ini pertama kalinya ada seorang cewek yang membuatnya merasa begitu dekat. Dan dihargai. Dia ingin memuji Sonata cantik dan menawan tetapi dia tak punya nyali.
“Suatu hari aku pasti mendengar lagu ciptaanmu diputar di Borne~o...” Tetapi kata-kata Maleo terputus sebab Sonata sedang asyik menyapa Laras lewat jendela.
“Kemarin aku dengar salam kamu di radio. Keren.” Dia berbisik karena guru kelas 2.F sudah menjelaskan rumus Matematika di depan papan tulis.
“Aku kirim 3 atensi sekaligus,” balas Laras juga dengan suara pelan. “Yang buat Singa Genkz sayangnya kada dibacakan Kak Agus.”
Kirim atensi buat Singa Genkz? Pipi Sonata merona karena pasti nama dia dan Diaz disandingkan Laras. “Tapi boros. Mending uang kas kita digunakan untuk memperbanyak stiker.” Kemudian seperti terhardik, Sonata melanjutkan jalannya. Dia mendapat lirikan dari bu guru, lalu merapikan rambutnya yang sebetulnya sudah rapi dan memasang senyuman manis.
Saat melewati pintu kelas 2.F yang terbuka, Maleo melihat Sonata menatap ke dalam.
Maleo tidak tahu siapa yang sedang Sonata sapa, tetapi dia juga tidak bisa mencari tahu karena minder. Berjalan berdua dengan Sonata saja dia canggung, rasanya seperti berbeda kasta.
Mereka membelok dari koridor ke belakang ruang kesenian dan menumpuk sampah di sana.
“Saat aku naik taksi, dari Banjarbaru arah Cempaka, aku juga melihat banyak stiker dari genk-genk di pintu taksi. Kalau mau, aku minta stikernya untuk kutempel di sana.”
Sonata menatap Maleo dengan mimik heran. “Ada gosip kamu sering tidak nyambung kalau diajak bicara dan susah dimengerti, sampai-sampai mereka bilang kamu berteman dengan makhluk halus, hehe. Hanya makhluk halus yang mengerti kata-katamu.”
Ya, Maleo tahu gosip itu. Dia pendatang, memiliki sifat tertutup, wajahnya tidak tampan dan tadinya dia sangat medok, membuatnya jadi objek lucu-lucuan teman dan gurunya. Baginya, Bahasa Banjar sudah seperti Bahasa Italia. Asing sekali. Namun, diam-diam dia introspeksi, lebih banyak memperhatikan sekitar, mencatat Bahasa Banjar yang baru dia dengar. Tentu, dia ingin perubahan, karena hanya dengan begitu dia bisa bertahan hidup di sini.
Itu berarti sudah ada perbaikan dalam dirinya, dan dia senang.
“So~Sonata... ikam tahu, kada?”
Sonata menatap dalam-dalam mata Maleo, membuat Maleo menelan ludahnya. Mimpi apa dia semalam hingga Sonata menatapnya seolah Sonata tertarik padanya? “Hari itu pemulaan ulun... merasa basyukur binir tajalipuk sampai tapulanting... di lapangan volly[1]. Walaupun muha ulun tarasa hangit takana pasir, sampai tesulum pasir, pasirnya tegapit di gigi-gigi, ulun senang dapat senyuman dari pian yang langkar~”[2]
“Hahahaha!” Namun belum selesai Maleo menuturkan perasaannya dalam Bahasa Banjar, Sonata sudah terpingkal.
“Ham, kenapa pian jadi tekuhuk-kuhuk? Ulun jadi supan nah. Rasanya muha ulun pindah ke burit.”[3]
“Tekuhuk-kuhuk? Pindah ke burit? Hahaha.”
“Eh, apa itu sebutannya buat orang yang terbahak-bahak?”
“Diajarin siapa, sih? Pantas saja kamu jadi bahan ledekan anak-anak. Aku juga bukan asli Banjar, dan sehari-harinya Bapak Ibu ngobrol dengan Bahasa Indonesia atau kalau tidak Bahasa Jawa, jadi aku kasian sama kamu, hahaha.”
Maleo tertunduk, merasa tersentuh, entah disaat yang tepat atau tidak. Dia menyambut empati Sonata dengan hati berbunga-bunga. Ya ampun, dia bahagia sekali bisa sedekat ini dengan Sonata. Rasanya, dia benar-benar hidup.
“Kalau begitu, ajarin aku Bahasa Banjar yang benar.”