----------------------------
Maleo mencari tahu tentang Diaz, mengikutinya hingga ke Warung Bakso Tahu Goreng di dekat sekolah.
Diaz memiliki perangai cuek---kurang peka, tak menyadari Maleo makan di tempat yang sama untuk memperhatikannya. Dia sedang bersama pacar barunya, Aulia, semesra saat bersama Sonata, membuat Maleo merasa deja-vu. Mereka mengobrol tentang lagu Masih-nya Ada Band yang juga membuat Sonata menangis saat di perpustakaan.
“Ini lagu untuk kamu, sayang. Walau badai menghadang, ingatlah ku kan slalu setia menjagamu...”
Oh, dunia adil sekali. Wajah tampan, suara soak, batin Maleo. Tetapi gadis lugu di sebelahnya menggelinjang gemas dan memuji, bahkan walau Diaz ditendang Mbak Tri Utami karena pitch controlnya bisa membuat Cacing dalam perutnya mati.
Sonata tak bisa melupakan Diaz bukankah karena sikapnya yang pandai merayu? Maleo menggigit bibir, dia tak bisa seperti itu kepada Sonata. Pertama, dia tidak diakui sebagai pacar oleh Sonata. Kedua, dia lebih sering melakukan hal konyol ketimbang manis.
“Sayang, kamu masih berteman wan Kak Sonata? Inya sudah kada terlihat di OSIS. Katanya karena ada aku.”
Maleo tahu, Sonata lebih menutup diri pasca putus dengan Diaz.
“Aku kada peduli. Inya yang minta putus di depan orang banyak.”
“Mungkin masih cinta...”
“Biarin aja lah. Kan aku sudah ada kamu, yang. Kamu lebih bungas.” Diaz mengelus pipi mulus siswi kelas 1 yang beberapa bulan lagi mungkin akan mengalami patah hati serupa Sonata.
Apakah tipe bad boy seperti ini yang disukai banyak gadis? Yang cuek dan tidak peduli perasaan cewek? Haruskah Maleo belajar menjadi Diaz agar disuka Sonata? Setidaknya walau tampang Diaz dan Maleo bak Nasi Tumpeng dan kerak Nasi, dia masih bisa bersikap seperti Diaz.
Maleo lalu melihat Mir di luar warung tengah mengobrol dengan siswa Madrasah Aliyah yang gedungnya berseberangan dengan Spentura. Bisakah Mir mengajarinya agar Sonata terkesan padanya?
Maleo segera berlari keluar, menaruh uang pas di meja pemilik warung, dan berjalan melewati Mir seraya berkata, “tree, tree, tree”.
Mir mengerti. Tak berapa lama dia pamitan dengan gadis-gadis manis itu lalu mengendarai motor Smash kuningnya ke lapangan basket di belakang Spentura.
***
“Permak aku biar ganteng kayak Diaz.”
“He?” Mir tak jadi melempar bola basketnya, sebagai gantinya dia tergelak hingga terduduk ke lantai lapangan. “Permak, hahahah.”
Respon Mir menghina sekali! “Maksudku... hhh, biar Sonata berdebar melihatku.”
“Aku permak kamu kayak Pocong, ya. Itu juga bikin berdebar, hahaha.”
Maleo mengacungkan sepatunya, gemas pada cowok yang melepas kemeja putihnya dan hanya mengenakan polo shirt hitam itu. Rasanya dia tidak bisa melukai paras setampan itu dengan sepatunya yang bau. Dia lalu terenung di kursi panjang di pinggir lapangan.
“Pertanyaanku serius... apa merk krim rambut Diaz? Yang bagaimana bentuk sisirnya? Apa sabunnya? Apa samponya? Bulu keteknya dicukur apa dibiarkan aja?”
“Hahahah.”
“Setiap pagi dia minum air berapa gelas? Luluran juga, tidak? Pakai lotion? Ada bacaan tertentu, tidak? Mantra, mantra?”
“Mana kutahu. Aku ini teman dia bukan baby sitter-nya.”
Maleo cemberut. Dia sungguh-sungguh ingin berubah lebih keren. Diaz role modelnya. “Itu karena Sonata menyukai dia.”
Mir kelelahan, karena bermain basket, karena tertawa, dan karena memang dia kurang tidur. “Aku heran kenapa orang-orang ingin seperti kami.”
“Maksudnya?”
“Jadi ganteng itu tidak selamanya menyenangkan.”
“Bohong. Kalau begitu kenapa kamu tetap mempertahankan kegantenganmu? Kenapa tidak berusaha menjadi jelek?” gumam Maleo.
“Wkwkwk. Maksudku... Terima saja apa pun pemberian Tuhan. Menjadi ganteng juga ada negatifnya. Sebaliknya, menjadi jelek juga ada baiknya.”
Dia tak tertarik mengetahui kebaikan berwajah jelek. Dia sudah mengalaminya selama 14 tahun dan tak menemukan hal yang bisa dibanggakan.
“Salah satunya, jadi banyak cewek yang nembak.”
“Bukannya itu bagus?”
“Bagus apanya, sih? Sering dituduh nyakitin cewek gini, kok.”
Maleo tak mengerti karena dia tak pernah ditembak cewek. Dipukuli sih sering.
“Cewek-cewek bilang, aku brengsek. Nyatanya, aku tidak pernah berniat mematahkan hati mereka. Cewek A nembak, aku terima. Cewek B nembak, aku terima juga. Cewek C bilang ingin jadi pacarku, ya sudah aku kabulkan. Biar mereka senang.”
Maleo memasang wajah datar dan menatap tanah basah. Rasanya Maleo ingin menggali cacing tanah saja daripada mendengarkan celotehan Mir.
“Kalau aku tolak, mereka patah hati. Ya sudah aku terima saja. Lalu mereka rasakan sendiri gimana jadi pacarku. Kalau rasanya sakit, itu kan kehendak mereka sendiri.”
“Kalau kamu tolak dan beralasan “aku sudah punya pacar dan harus setia” kurasa mereka mengerti.”
“Aku pernah menolak, mereka sedih. Aku tidak ingin membiarkan mereka sedih, apa itu brengsek?”
Maleo benar-benar menggali tanah dengan sebilah ranting.
“Mauku, setidaknya, mereka pernah bahagia saat menyukaiku.”
Terserahlah. Walaupun Mir pikir apa yang dia lakukan mulia, terserah saja. Maleo bersiap pergi dan mengambil tasnya. Lebih berfaedah mendengarkan kasidahan daripada argumentasi Mir.
Langkah Maleo berhenti setelah seorang cewek lewat di jalan beraspal di samping lapangan basket. Dia mendapati cewek itu dan Mir sempat beradu pandang.
Cewek itu tampak kikuk, ingin mempercepat langkahnya tetapi jalanan sedang basah. Dia lalu berlagak tidak melihat siapa pun dan berjalan agak cepat.
Mir mengukir senyum di wajahnya. Dia memandang pasrah ke arah Zizu, tertawa ketika Zizu kesandung kaleng Sprite dan bertingkah canggung.
“Imut sekali.”
Maleo rasa Mir aneh. Mir seolah tak jemu memandangnya walau gadis itu tidak cantik.
Namun, Maleo mendapatkan satu pelajaran lagi. Dia tak perlu menjadi seganteng dan sekeren Diaz demi mendapatkan hati seseorang yang ditaksirnya. Dia lalu mendekati Mir, memaksa Mir menatap matanya, dan meminta jawaban jujur.
“Apa yang kamu suka dari Zizu? Coba katakan!”
Mir terkejut melihat ulah Maleo. Dia sedikit geli mengingat posisi mereka yang berhadapan. Bisa bisa orang salah paham, jadi segera dia dorong Maleo dengan pelan.
“Ketulusannya.”
Lalu Mir bergegas pergi, sebab gerimis semakin deras.
Dan dia sedikit malu.
***
Beberapa hari ini Zizu selalu pulang dalam kondisi basah. Jalanan banjir akibat drainase yang buruk. Dia membaca rubrik psikologi di tabloid yang dia beli sepulang sekolah. Tadinya, dia membeli tabloid ini karena covernya kontestan Akademi Fantasi Indosiar. Tetapi sekarang rubrik ini menjadi yang pertama dia baca.
Ah, menyenangkan bisa membantu seseorang menyelesaikan problem dan menenangkan kegundahannya. Dia ingin menjadi psikolog. Dan jika dia ingin berhasil, dia harus belajar yang rajin.
“Kenapa hari ini bilang Pangeran Kodok Ketohok? Kamu ini ada-ada saja.”
“Karena teman baruku. Dia tampan, karismatik, cool, dan baik hati. Banyak cewek cantik yang menyukainya, tetapi dia justru menyukai cewek jelek, culun, dan tidak menarik. Dia bilang karena ketulusannya. Aku pun tertohok.”
Belum selesai membaca rubrik psikologi, dia mendengar curhatan di Borneo FM, dan mengenali suara itu. Dia menyimaknya dengan baik. Jika penelpon ini adalah Maleo, lalu siapa yang dia maksud dikenal jelek dan culun di sekolah?
“Aku??? Terus cowok itu???”
Kak Agus terdengar tertawa. “Sangat mungkin, cowok ganteng menyukai cewek biasa-biasa saja. Dear Pangeran Kodok Ketohok, cewek jelek itu hanya mitos, ya. Semua cewek itu indah dengan cara mereka sendiri. Mungkin kalau kamu perhatikan, wajahnya tidak cantik, tapi hatinya indah. Karena ketulusannya. Sesuatu yang berasal dari hati akan sampai ke hati. Mengerti ya, Pangeran Kodok Ketohok?”
“Jadi mungkin mungkin saja ya? Berarti... aku juga bisa mendapatkan seorang cewek secantik Putri Rusa meskipun aku jelek?”
“Tentu saja. Gunakan hatimu. Tunjukkan ketulusanmu. Pangeran Kodok Ketohok ingin lagu apa nih?”
Zizu beranjak sebentar, merogoh ransel dan mengambil Kipas dengan wajah Kodok tersenyum, pemberian Maleo untuk Sonata. Dia juga teringat kebersamaan Maleo dan Mir di lapangan basket. Teman baru? Tampan dan disukai banyak gadis?
Hanya 50% dia meyakini penelpon itu Maleo. 50% dia tak yakin karena dia tak berpikir Mir yang di kelilingi cewek cantik itu menyukainya.
Itu tidak mungkin.
***
Pagi pada bulan Mei, Sonata membawa gitar ke sekolahnya. Dia lemas ketika sampai ke kelas.
“Deg-degan, Zu. Takut ketahuan Pak Prapto. Dia kan yang paling galak soal ginian. Walkman-ku saja pernah diambil.”
“Ini yang kamu bilang obat patah hati?”
Sonata mengangguk, senyumannya manis sekali. Cara Sonata memegang gitar terlihat luwes. Ayahnya adalah guru kesenian, jadi Sonata setidaknya mampu menggunakan satu alat musik.
“Wah, aku mau dengar nyanyianmu, boleh?”
Hati Zizu senang sekali melihat Sonata yang terlihat kembali ceria. Sonata menyanyikan lagu Siti Nurhaliza dengan riang.
Maleo datang dan segera mendekat pada Sonata dan teman-temannya. Dia semakin mengagumi Sonata meskipun kemampuan menyanyinya harus diasah lagi.
Selesai satu lagu, teman-temannya lalu meminta lagu yang berbeda-beda.
Sonata agak berat. “Sebetulnya aku menghindari lagu cinta. Kalian tahu kan...”
Maleo mengerti. Mungkin memang begini kondisi seseorang pasca putus cinta dan inilah langkah terbaiknya.
“Kalau gitu lagu Sahabat Sejati Sheila On 7 aja,” usul Zizu, yang membuat Maleo menengoknya dan... bukkk! Maleo jatuh dari atas meja. Dia tak sadar di sampingnya Zizu yang selama ini dia hindari.
“Cieee Maleo... saking terpesonanya melihat Zizu dari dekat sampai-sampai jatuh.”
“Hahahaha.”
Maleo kesal. Namun, dia menemukan satu momen yang dia rindukan selama berbulan-bulan ini. Dan dia senang.
Tawa lepas Sonata. Akibat kebodohannya.
***
“Makan siang untuk kamu.” Maleo meletakkan kotak bekal hijau di atas meja Sonata.