------------------------------------------------
“Bagaimana kabarmu setelah pindah ke Malang? Kamu sama sekali tidak jatuh cinta lagi pada seseorang yang lain?”
Maleo menggeleng. Dia menyesap kopi susu yang dihidangkan mas manajer radio di atas meja. “Saya tidak pernah mencintai seseorang selain dia. Saya pun tak mengerti. Hati saya seolah telah tertutup untuknya.”
Kak Agus juga menenggak teh hangatnya. Obrolan ini terasa lebih intim.
“Sejak saya pindah ke Malang bulan Januari 2007, sekitar sebulan saya banyak merenung, patah hati, merasa kosong. Bulan berikutnya, Ibu membelikan komputer yang cukup canggih di jaman itu, juga ponsel, agar saya bisa mengembangkan kemampuan saya di dunia iptek. Ibu tak memarahi saya ketika saya main games, karena menurut Ibu... saya bisa belajar teknologi dari games itu. Saya bertemu komunitas gamers, tak hanya sering membicarakan tentang games, anime Jepang atau animasi 3D, tetapi juga virus/anti-virus, editing video, adobe photoshop, sampai bikin proyek film indie untuk mengikuti lomba film pendek. Pelan-pelan, tanpa saya sadari, saya bisa melupakan Sonata.”
Kak Agus tersenyum. “Dan itu berlangsung hingga kamu kuliah?”
“Ya, bersama teman-teman kuliah saya di Universitas Brawijaya membangun perusahaan yang bergerak di bidang IT. Perusahaan multimedia. Sebagai programmer, kami membuat aplikasi, membuat iklan komersil, membuat website untuk perusahaan, dan kadang terlibat dalam pembuatan animasi untuk film. Kemampuan berbicara saya membaik seiring seringnya saya mempresentasikan ide-ide di depan klien dan investor, hehe. Saya melupakan urusan asmara karena kesibukan saya.”
Kak Agus spontan memberi tepukan bangga. Apalagi setelah tahu aplikasi untuk informasi traveling di ponselnya ternyata dikelola oleh Maleo dan tim. Ah, Maleo memang jenius sejak SMP, bukan? Hanya saja saat itu tak ada yang menyadari kelebihan luar biasa dan kerja keras yang dia miliki.
“Kamu pasti memiliki akun media sosial. Apa kamu tidak mencari Sonata?”
“Saya pikir saya akan diundang ke dalam grup Facebook Spentura. Ternyata tidak. Mereka melupakan saya, hehe. Lagipula, saya tidak menggunakan nama asli saya untuk media sosial. Ya sudah. Saya menemukan akun Mir saja sudah senang.”
“Mir adalah siswa populer di Spentura, bukan? Bagaimana kabarnya?”
“Dia tinggal di Batulicin. Mendirikan usaha bengkel. Anaknya sudah besar sekitar 7 tahunan.”
Wah, playboy Spentura tentu saja menikah lebih cepat. “Akan sangat menarik jika jodohnya adalah Zizu, hehe.”
“Menurut saya, cerita cinta monyet Mir dan Zizu justru lebih menarik jika mereka tidak berjodoh.”
Kak Agus terbahak. “Semoga saja saat Mir membina rumah tangga dengan istrinya, tidak ada cewek yang menyatakan perasaan padanya, hehehe.”
“Ahahaha, sepertinya sohib baik saya itu sudah tobat. Dia bilang, ‘aah, masa jahiliyah itu sudah lewat, auk kada handak meulanginya lagi[1]’.”
Kak Agus mengangguk-angguk. Ya, setiap orang memiliki rasa lelahnya sendiri lalu berhenti dari permainan dunia, untuk mencari ketenangan batin.
“Pasti ada seseorang... yang memotivasimu untuk bekerja keras mencapai impianmu hingga seperti sekarang. Apakah dia Sonata?”
Maleo merenungkannya sejenak. “Pada awalnya, itu bukan dia. Tetapi sosok perempuan baik hati bernama Zivara Zulaekha, si putri marmut.”
“Aaah, Putri marmut. Oh iya, Putri Marmut kan Zizu, ya, hehe.”
“Dia ingin saya menjadi donatur tetap untuk panti asuhan di mana dia menjadi sukarelawan. Saya pikir, kalau begitu saya harus jadi orang kaya, mengumpulkan recehan sebanyak-banyaknya, hehe.”
“Dan kamu melakukannya?”
“Ya, saya berkomunikasi dengan baik dengannya di Facebook sejak 2012. Dia menjadi pengurus panti juga. Saya mengajak teman-teman saya menjadi donatur agar adik-adik asuh kami dapat sekolah setinggi-tingginya.”
“Saya senang bisa mengenal kalian. Sungguh.” Kak Agus menyalami Maleo, merasa salut sekali.
“Zizu memang perempuan yang hebat, hehe.”
Kak Agus mencium sesuatu yang tak biasa di wajah Maleo. “Apakah kalian memiliki hubungan khusus? Dulu kamu sebal dijodoh-jodohkan dengannya, bisa saja kemudian kamu justru jatuh cinta beneran karena kepribadiannya yang baik. Iya, kan?”
Maleo terkekeh. “Ya, dia juga rajin mengerjakan pekerjaan rumah, dan dia sangat baik hati. Dia istri yang baik.”
“Istri yang baik?”
“Ya, dia istri yang baik.”
Kak Agus bertepuk tangan. “Saya tidak kaget kalau kamu akhirnya jatuh cinta pada Zizu.”
Maleo terkekeh.
“Kamu sudah membagikan begitu banyak cerita hidup kamu, ayolah jangan tanggung-tanggung. Dan jangan lupa, Zizu adalah salah satu motivatormu hingga kamu berhasil seperti sekarang.”
Maleo menahan tawa, menutup mulutnya dengan punggung tangan.
“Hubunganmu dan Zizu begitu unik. Kalian sama-sama menyukai orang lain, dijodoh-jodohkan teman, tapi kamunya sok-sok ilfil, hehehe. Dia membantu kamu lebih dekat dengan Sonata. Ketulusannya mengejutkanmu, mengesankanmu. Kamu lalu berkomunikasi lagi dengannya tahun 2012, dan kamu sungguh-sungguh ingin memperistrinya. Lalu... kalian menikah.”
“Hahaha, good novel!”
“Oh, ayolah...”
Maleo menghentikan tawanya. Parasnya berubah serius. “Sonata adalah satu-satunya sosok yang saya inginkan menjadi istri saya.”
“Setelah dia membuatmu patah hati saat kamu SMP dan SMA? Memberikan pengalaman tak menyenangkan di masa yang seharusnya terindah bagi semua orang?”
Maleo tersenyum. “Dulu dia malu jalan bersama saya yang jelek sampai saya harus menutup wajah dengan slayer. Saya ingin dia tidak malu lagi sehingga saya pikir, saya harus jadi pria sukses, saya harus memiliki kelebihan yang membuat dia bangga ketika dekat dengan saya. Saat dia datang ke SMA saya, dia tak malu ngobrol bersama saya di kantin, karena dia tahu teman-teman di SMA tidak mencibir dan memandang rendah saya seperti saat saya di SMP. Kejadian ini menyadarkan saya. menjadi pria sukses adalah cara saya, pria berwajah jelek ini mendapatkan hati Sonata.”
Kak Agus memperhatikan wajah Maleo. Lelaki ini memang gemukan dibanding saat SMA, tetapi dia tidak begitu banyak berubah.
“Saya tak bisa mengubah wajah, setidaknya saya bisa mengubah pandangan orang lain terhadap saya, dengan prestasi yang keren. Sesederhana itu cara dia memotivasi saya.”
Kak Agus menatap mata Maleo lekat. “Secinta itu kamu pada Sonata?”