Di Kamar Lune
Kamar itu pernah menjadi tempat paling damai di seluruh istana.
Tempat di mana pagi dimulai dengan harum teh melati dan senyum lembut dari seorang pangeran yang tak pernah menyukai kekakuan protokol. Tempat di mana langit biru seolah lebih cerah, hanya karena Lune membuka jendela dan menyapa matahari dengan secangkir teh.
Tapi pagi ini… semua cahaya tampak enggan menyentuh ruang itu.
Keheningan memenuhi kamar seperti kabut suci dari altar terlupakan. Sunyi yang membungkus segalanya dalam hening yang terlalu rapi. Terlalu sempurna.
Seperti tidur… yang tidak akan pernah diakhiri oleh mimpi.
Di tengah ranjang besar bersprei biru keperakan, terbaringlah Pangeran Lune.
Rambut peraknya menjuntai lembut, terhampar di bantal seperti benang bulan yang putus dari langit. Wajahnya tenang. Terlalu tenang. Senyum kecil menghias bibirnya, seolah ia tengah bermimpi tentang taman rahasia di antara bintang-bintang.
Tapi… tak ada mimpi di balik mata yang tertutup itu.
Anna berdiri di sudut ruangan. Tubuhnya kecil, bayangannya jatuh panjang di atas karpet mewah yang membisu. Tangan mungilnya mengepal erat di dada, seperti mencoba menahan sesuatu yang retak di dalam dirinya—seperti mencoba menahan waktu.
Ia ingin menangis… tapi bahkan air matanya takut mengganggu keheningan ini.
Ratu Eleanor menggenggam ujung lengannya sendiri. Gaun lembayungnya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ada rasa takut yang tidak bisa dijelaskan dengan kata. Tatapannya terkunci pada putranya yang tertidur, tapi hatinya sudah terlempar jauh ke tempat yang tidak bisa dijangkau oleh cinta seorang ibu.
Dan kemudian, pintu dibuka pelan.
—
Kedatangan Dokter Reiss
Masuklah Dokter Reiss, penyembuh paling senior di istana. Rambutnya sudah memutih, dan jubah emasnya memantulkan sinar matahari dengan keagungan yang tak menyilaukan. Di dadanya tersemat lencana kristal penyembuh kerajaan. Sebagai dokter paling senior, dia adalah satu-satunya penyembuh kerajaan yang telah menyaksikan lebih banyak kelahiran dan kematian dari siapa pun di istana.Wajah tuanya tenang, tapi garis-garis di dahinya menyimpan kecemasan yang tidak terucap.
Ia memulai pemeriksaan dengan tenang, tapi raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kegusaran.