“Ketika cahaya disembunyikan dari langit… hanya hati yang tahu bahwa pagi itu tak pernah benar-benar datang.”
—
Pengumuman Kerajaan
Pagi itu, langit Arclight dilukis lembut oleh biru yang tak berubah. Burung-burung tetap bernyanyi, dan kelopak-kelopak bunga musim semi terayun pelan ditiup angin seolah dunia masih berjalan seperti biasa.
Namun bagi mereka yang hatinya peka… waktu seakan berhenti berdetak.
Di ujung tertinggi istana, bendera kerajaan berkibar setengah tiang, menari pelan dalam angin sunyi. Di balik pancaran cahaya pagi, berdirilah Raja Aldebaran—mantel hitam membungkus tubuhnya, sorot matanya kosong namun tetap tajam, seperti langit mendung yang menolak menangis.
Dari balkon yang menghadap seluruh ibu kota, suaranya menggema… berat, tegas, namun mengandung kehampaan yang tak dapat disembunyikan.
“Rakyat Arclight yang tercinta…
Pangeran Lune, putra cahaya kerajaan ini, telah jatuh sakit akibat kelelahan luar biasa usai menjalankan tugas di perbatasan.
Demi pemulihan penuh, beliau tidak dapat dikunjungi… hingga waktu yang tidak ditentukan.
Mohon doakan beliau dalam diam.”
Kata-kata itu melayang pelan di udara, dibawa angin, meresap ke setiap jendela, ke setiap hati. Tapi yang berhembus bukan hanya doa…
Ada keraguan.
Ada kekhawatiran.
Dan… bisikan-bisikan yang pelan namun tak dapat dihentikan.
Dalam diamnya, Raja Aldebaran memejamkan mata. Dia duduk diam tetapi ingatannya kembali ke masa lalu. Ketika Lune masih kecil dan hanyalah anak yang polos yang memanggil Raja dengan sebutan “Papa”. Tapi waktu terus bergerak, roda aristokrasi memaksa Lune kecil tumbuh lebih cepat dan menjadi harapan bagi kerajaan.
“Sebagai ayahmu… aku mungkin telah gagal, Lune.
Aku tidak bisa memberikanmu kasih sayang seperti anak normal karena...
mahkota yang kau pakai. Tetapi aku tetap berharap kau mengerti. Kerajaan membutuhkanmu. Cepatlah bangun… Kau bisa tidur, tapi kerajaan tidak bisa tertidur bersamamu, nak.”
Sebagai raja, ia harus tegar.
Sebagai ayah, ia hancur perlahan.
—
Taman Dalam Istana — Di Balik Gerbang Rahasia
POV: Ratu Eleanor
Sementara itu, tersembunyi jauh dari mata rakyat, di ruang hangat yang dikelilingi aroma mawar putih dan cahaya lilin lembut…
Ratu Eleanor berdiri, anggun namun rapuh, seperti mawar yang tak sanggup lagi mekar sepenuhnya. Di hadapannya, tiga perempuan hadir—masing-masing membawa sepotong hatinya yang hilang: Lys, Rubea, dan Hestia.
Mereka masuk dengan langkah berbeda.
Namun mereka semua datang… dengan hati yang retak.
Eleanor, sang ratu, menatap ketiganya. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya membara lembut seperti nyala lilin terakhir dalam badai. Ia berdiri bukan hanya sebagai seorang ratu…
Tapi sebagai seorang ibu… yang gagal melindungi cahaya hidupnya.
Ia menarik napas dalam, dan bersuara. Lembut… namun seperti salju yang menyentuh kulit yang belum siap.
“Lune… tidak hanya sakit.”
“Dia… tertidur.”
“Tapi ini bukan tidur biasa… Ini kepompong.”
Sejenak, dunia seperti menahan napas.
“Tubuhnya diselimuti mana suci. Dia berubah. Dalam diam. Dalam tidur.
Kita tidak tahu kapan ia akan bangun… atau apakah ia akan kembali sebagai dirinya yang sama.”
Lys menggigit bibir bawahnya, matanya berkabut.
Rubea mengepalkan tangannya, menyimpan badai di balik gaun sutranya.
Hestia menunduk, menyembunyikan getar di balik pelindung dada peraknya.
“Rahasia ini… tidak boleh keluar. Dunia tidak boleh tahu.”
“Jika mereka tahu bahwa cahaya mereka memudar… dunia akan gelap.”
Perlahan, Eleanor melangkah ke jendela. Angin musim semi membelai tirai tipis yang bergoyang lembut, seperti rindu yang tak bisa dijangkau.
Ia menatap kamar putranya… yang tertutup rapat, seolah memisahkan dunia dari cahaya yang sedang melemah di dalam.
“Mulai hari ini… kalian bertiga adalah lingkaran terdalam kepercayaanku.
Jagalah rahasia ini.
Dan jagalah harapan dunia… yang kini sedang tertidur.”
Tiga perempuan itu… berbeda.
Tapi kini mereka terikat oleh satu hal yang tak bisa disangkal:
Cinta kepada seorang pangeran… yang tak lagi bisa mereka sentuh.
—
POV: Lys
Gadis kecil itu berdiri menggenggam ujung bajunya sendiri. Rambut peraknya dikuncir pelangi, matanya biru terang tapi kini dibungkus kabut kebingungan. Suaranya masih seperti lonceng kecil… tapi kini terdengar pecah.
“Kak Lune kenapa gak bangun…? Bukannya dia cuma capek ya? Dia kan janji main bareng Lys hari ini…”
Tangannya gemetar saat mencubit kainnya.
Ia masih terlalu kecil…
Untuk memahami bahwa kadang… orang yang paling kita cintai, tidak bisa menepati janji—bukan karena ingkar, tapi karena tertidur terlalu dalam.
—
POV: Rubea
Putri kebanggaan Duke de Bluesky, berdiri tegak dalam balutan gaun biru yang sempurna, tapi matanya adalah badai yang tertahan. Ungu tajam, seperti rubi yang tidak pernah menangis.
“Kemarin, kami baru saja berdansa di pesta istana, kenapa sekarang Lune terlelap tidur?”
“Siapa yang melakukan ini? Siapa?… Siapa?… siapa?…”
Giginya terkatup, suara lirihnya seperti uap racun dalam udara dingin.
“Kalau ada seorang yang berani menyakiti Lune, aku tidak akan tinggal diam…”
“Aku akan pastikan dia menyesalinya…”
Kata-kata itu tidak melengking. Tidak meledak.
Tapi justru karena pelan… ia lebih tajam daripada pedang yang pernah ditegakkan di medan perang.
—
POV: Hestia
Kesatria wanita berdiri tegap, tapi detak jantungnya terasa goyah. Rambut emasnya melambai dalam cahaya pagi, dan di balik pelindung dadanya… ada rasa bersalah yang tak bisa ia sembunyikan.
“Aku gagal melindungi Pangeran… padahal baru kemarin aku berjanji melindungi Pangeran…”
Ingatan menyentak dalam pikirannya—saat Lune, dengan senyum lembut dan suara penuh keyakinan, berkata bahwa ia tak peduli Hestia perempuan… ia hanya melihat kesatria.
“Dia selalu melindungi kami. Aku masih ingat dia lah yang memberiku cahaya – tidak membedakan genderku hanya karena aku perempuan bukan berarti aku tidak bisa menjadi kesatria. Dia berdiri di sana untukku… bisakah aku menjaganya saat dia jatuh?”