Katedral Cahaya – Ibu Kota Arclight
Langkah Pendeta Agung Capitalia bergema lembut di tengah katedral yang dipenuhi cahaya pagi. Jubah putihnya menjuntai seperti kabut ilahi. Suara doa dan nyanyian suci mengalun tenang, namun seketika hening ketika jamaah menyadari kehadiran sosok tertinggi mereka.
“Yang Mulia Pendeta Agung!”
“Terang menyertai langkah Anda!”
Para jamaah, baik tua maupun muda, membungkuk dalam. Beberapa meneteskan air mata hanya karena bisa menyaksikan kehadirannya. Para pendeta muda berdiri kaku penuh khidmat. Mereka tak melihat manusia… mereka melihat simbol iman.
Namun Capitalia hanya membalas dengan senyum tenang dan anggukan penuh kasih. Ia berjalan pelan, menyusuri koridor tengah, hingga matanya tertuju ke mimbar utama.
Di sana… berdiri seorang gadis.
Saintess Lucia.
Berambut panjang dengan gradasi antara perak dan emas, mata emas yang bersinar, gaun putih bergaris emas yang memancarkan aura kesucian. Cahaya dari jendela kaca patri seakan memilihnya untuk bersinar lebih terang dari yang lain.
“…karena cahaya sejati tidak lahir dari kekuatan, tapi dari cinta yang tak pernah lelah menunggu,” ujarnya, suara beningnya menggema dalam ruangan.
Seketika itu, khutbahnya ditutup.
“Khithmah,” bisiknya lembut.
“Khithmah!” jawab para jamaah dengan serentak dan penuh iman.
Mereka mencintainya.
Bukan karena ia Saintess… tapi karena mereka melihatnya sebagai cahaya pengganti sang pahlawan.
Lucia turun dari mimbar, dan menghampiri Pendeta Agung. Mereka menyapa dengan gestur penghormatan spiritual, sebelum masuk ke ruang dalam—ruang suci yang hanya boleh dimasuki dua manusia dalam gereja: Pendeta Agung dan Saintess.
—
Dialog Intim di Ruang Cahaya
Simbol-simbol Cahaya menghiasi dinding: lambang matahari suci, lukisan Lune mengangkat pedang dalam kemenangan, dan mural para santo yang dahulu melawan kegelapan.
Lucia menatap mural itu lama, lalu berbalik.
“Bagaimana… kabar Pangeran?”
“Dia… belum bangun, bukan?”
Pendeta Agung Capitalia tidak menjawab langsung. Matanya menatap lantai batu yang memantulkan cahaya lembut.
“Kerajaan hanya memberikan pengumuman umum. Tak lebih. Aku sendiri sudah menemui Penyihir Agung… namun Elaria menolakku dengan kalimat lembut yang terasa seperti pagar gaib.”
Lucia mengepalkan jemarinya. Cahaya di sekelilingnya bergetar samar.
“Mereka… menyembunyikannya dari kita.”
“Padahal Pangeran Lune adalah cahaya gereja. Tanpa dirinya, dunia ini—dunia kita—berada di ambang kegelapan spiritual.”
Ia melangkah maju, berdiri tepat di bawah jendela bergambar Lune yang sedang membelah kegelapan. Matanya memancarkan tekad.
“Para pemuja bayangan… tidak akan diam. Mereka akan bergerak. Bahkan sekarang pun… mereka sudah menyebar di desa-desa.”
“Jika kita tidak bertindak… mereka akan menyebarkan keraguan.”
Pendeta Agung mengangguk. Sorot matanya tidak setajam biasanya. Ada keraguan, tapi juga harapan.
“Apa yang kau rencanakan, Lucia?”
Lucia menunduk. Bukan dalam tunduk yang lembut—tapi dalam bentuk doa yang menguat.
“Izinkan aku pergi. Izinkan aku turun ke daerah pinggiran dan tempat ibadah yang terpencil. Aku akan membawa cahaya kepada mereka… sampai Pangeran Lune bangun kembali.”
“Aku tidak bisa duduk dan menunggu. Jika dia sedang tertidur, maka aku akan menjadi cahaya kedua… meskipun cahayaku tidak seterang dirinya.”
Diam.
Lalu Pendeta Agung berkata lirih:
“Kau tahu, Lucia… terkadang orang-orang mengira kau mencintai Lune.”