POV: Rubea de Bluesky
Pergolakan Batin di Kamar yang Tidak Lagi Tenang
Rubea de Bluesky bukanlah gadis biasa. Ia diajarkan untuk selalu anggun, kalem, dan mencerminkan langit keluarga de Bluesky: tinggi, jauh, tak tersentuh. Tapi malam ini… langit itu mendung, berangin, dan gemetar oleh badai yang tak bisa ditahan.
Di balik dinding kamar tamu megah yang disediakan istana, sang bangsawan muda menggigit bibirnya keras, lalu melempar satu bantal ke arah lemari kaca.
Dummp!
"Lune… dasar egois!" bentaknya, tak kepada siapa pun—kecuali sepi.
Ujung gaun diremasnya erat; dadanya naik turun, seirama gelombang emosi yang tak terbendung.
“Tidur? Kau tertidur… tanpa pamit! Tanpa memperhitungkan betapa aku—”
Ia berhenti, menggertakkan gigi. Di matanya, yang biasanya bagai danau biru tenang, kini berkecamuk pusaran posesif: “Siapa yang membuatmu tidur, hah? Siapa yang berani menyentuh sinar lembut yang seharusnya hanya menyinariku?”
Si penyihir mimpi? Si penipu waktu?
Tangannya meninju bantal lain—lalu melemparkannya ke dinding. Ruangan istananya yang sebelumnya rapi kini tak ubahnya reruntuhan elegan dari badai frustrasi seorang gadis yang kehilangan pusat orbitnya.
Tok tok tok.
“Rubea?” Sebuah suara lembut. Ratu.
Rubea membelalak. Panik. Segera ia menarik napas panjang, mengubah ekspresi wajahnya… dan membuka pintu dengan senyum paling elegan milik keluarga de Bluesky.
“Oh, Yang Mulia. Maaf, saya tidak menyangka Anda akan lewat…”
Ratu menatapnya sebentar, lalu tersenyum lembut. “Tadi kudengar… sedikit kegaduhan. Apakah kau baik-baik saja, Sayang?”
Rubea menunduk sopan, menyembunyikan napas yang masih tersengal. “Tentu saja. Mungkin hanya rak buku yang bergeser. Jangan khawatir… saya tidak apa-apa.”
Ratu memandangi wajah gadis itu beberapa detik. “Kalau kau butuh bicara… aku ibarat ibumu juga, tahu? Bagaimanapun, kau sudah seperti menantuku sendiri.”
Senyum Rubea menegang sesaat. Tapi ia segera menjawab dengan lembut, “Terima kasih, Yang Mulia. Saya tidak akan melupakan kebaikan Anda.”
Begitu pintu tertutup kembali, Rubea mendesah panjang. Ia melihat ruangan yang masih berantakan dan menghela napas tajam. “Tidak bisa begini kalau ingin menjenguknya…”
Dengan cepat dan tenang, ia merapikan semuanya—seolah badai barusan hanyalah bayangan kabut di pagi hari.
—
Lorong Sunyi dan Tatapan Pembakar
Rubea berjalan di lorong istana dengan anggun, langkahnya ringan seolah setiap nada sepatu haknya adalah irama lembut musik kamar bangsawan. Tak ada satu pun yang tahu bahwa tangan yang kini menyentuh dinding lorong dengan lembut… baru saja meninju bantal hingga berbentuk tak karuan.
Sesampainya di depan pintu kamar Lune, ia melihat Anna keluar, menggendong Lys kecil yang tertidur dengan wajah kelelahan.
Rubea berhenti.
Tatapannya… tajam.
Anna, yang menyadari itu, menunduk sopan tapi tubuhnya sedikit menegang.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona Rubea?” tanyanya hati-hati.
Rubea tidak menjawab langsung. Ia menatap gadis pelayan itu dari ujung rambut sampai kaki, sebelum akhirnya berkata datar, “Tidak. Aku tidak butuh apa-apa dari pelayan.”
Lalu ia menoleh ke Lys.
Diam. Tapi sorot matanya mengatakan: "Kau boleh tidur di lengannya sekarang, tapi dia milikku, dan hanya aku yang akan menggenggamnya selamanya."
“Biarkan aku sendiri. Aku mau menjenguk tunanganku,” lanjutnya, dengan senyum kecil yang seakan diukir dari marmer halus.
Anna buru-buru mengangguk, “Baik. Semoga Lune segera sadar, Nona.”
Dan mereka pun berlalu.
—
Di Samping Sang Cahaya
Suasana kamar Lune seperti terperangkap dalam waktu.
Rubea melangkah perlahan menuju ranjang tempat Putra Mahkota Arclight tidur. Napasnya… tetap. Damai. Seperti pangeran dalam kisah tidur seribu tahun.
Rubea duduk di tepi ranjang. Menyentuh pipinya. Lalu berbisik nyaris seperti mantra:
“Gadis-gadis itu semua berusaha mendekatimu. Tapi hanya aku yang kau beri pilihan saat dunia memaksamu. Hanya aku yang kau beri kehormatan untuk menolak…”
Rubee menunduk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Lune. Jantungnya semakin berdetuk kencang ketika bibirnya hampir bertemu dengan bibir Lune. Tapi dia berhenti.
“Ciuman waktu tidur tidak sopan…” katanya lirih. “Aku bukan seperti rubah-rubah itu. Aku bangsawan. Aku akan menciummu nanti… saat kita menikah… saat kita sendiri.”
Ia menarik napas. Wajahnya memerah. Tapi matanya tetap tajam.
Lalu ia menggenggam tangan Lune, lalu menempelkan tangan itu ke pipinya. Hangat yang samar… tapi tetap ada.
“Aku tidak akan melepaskan tangan ini. Pertunangan kita bukan transaksi politik. Ini adalah takdir. Dan takdir… tidak boleh dicuri.”
Ia memejamkan mata.
“Kau milikku, Lune. Tidurlah sepuasmu. Tapi ketika kau bangun nanti… aku akan berada di sisimu.”
Ketika jemarinya menyentuh tangan Lune… ia kembali mengingat saat jemari itu pertama kali menyambutnya…"
—
Kilas Balik Pertunangan Politik (Satu Tahun Lalu)
Ruang Tamu Mansion Keluarga de Bluesky
Langit luar berwarna kelabu, awan menggantung rendah seperti ikut menahan napas saat pertengkaran pecah di dalam dinding megah rumah keluarga bangsawan.
“Aku tidak akan menikah dengan orang asing!”
Suara Rubea memantul di dinding marmer putih. Mata ungu rubynya menatap ayahnya dengan dingin, seperti langit musim dingin yang menolak membuka hati.
Duke de Bluesky, lelaki tua dengan garis wajah tegas dan rambut biru yang disisir rapi, mengepalkan tangan di atas meja kayu ek.
“Cinta bisa dibangun, Rubea. Ayah dan ibumu pun awalnya perjodohan.”
Rubea mendesis kecil, “Itu masalah Ayah. Tapi aku bukan Ibu. Aku bukan benda politik untuk ditukar demi kestabilan.”
Duke mengerutkan kening. “Kau tahu siapa dia? Putra Mahkota Arclight. Ada ratusan bangsawan berebut tempat ini. Aku harus mengorbankan banyak untuk memastikan kesepakatan ini terwujud.”
“Lalu aku harus menghargai politik Ayah dengan mengorbankan hatiku?”
Suasana tegang.
Tapi akhirnya, dengan nada yang sedikit kalah, Duke berkata, “Temuilah dia sekali saja. Jika kau tetap menolak setelah itu, kita akan bicarakan ulang. Tapi sebagai putriku, setidaknya beri aku kehormatan untuk melihatmu mencoba.”
Keheningan.
Kemudian Rubea berbisik pelan namun pasti, “…Baik. Tapi aku tak akan pura-pura senang.”
—
Sore Itu – Pertemuan dengan Lune
Ruang tamu mansion wangi lavender. Rubea duduk tegak dengan gaun biru laut lembut yang menjuntai anggun. Ia menoleh saat pintu dibuka.
Lune masuk dengan langkah tenang.