POV: Hestia Neville
Rasa Bersalah Hestia
Langit Arclight begitu biru… tapi bagi Hestia Neville, tak ada cahaya di dalam hatinya.
Di halaman latihan istana, suara pedang beradu tidak terdengar gagah. Justru gemetar.
Cengkraman Hestia melemah. Ayunan pedangnya tidak tajam—ia kehilangan bentuk, kehilangan makna.
Ckeng!
Pedangnya jatuh ke tanah, menyentuh lantai batu dengan suara yang lebih menyakitkan dari seribu celaan.
Hestia berlutut. Tubuh gagah berseragam pelat ringan itu tampak rapuh, pundaknya turun seperti langit yang kelelahan menopang awan. Rambut pirangnya berantakan, menutupi mata yang penuh… rasa bersalah.
“Aku harusnya melindungi Lune...”
Suara itu tak lebih dari bisikan patah hati. Ia menunduk lebih dalam, hingga keningnya menyentuh gagang pedangnya.
“Bahkan belum satu hari... sejak Ratu memberikan perintah itu. Dan aku... gagal.”
Angin musim gugur menyentuh pipinya pelan. Tapi itu tak bisa mendinginkan bara sesal di dadanya. Tangannya mengepal.
“Kalau saja aku ikut waktu itu... kalau saja aku tidak membiarkannya sendirian di taman...”
Hestia menatap ke arah jendela kamar Lune yang sunyi. Sejak Pangeran itu tertidur dalam kutukan yang tak diketahui, waktu seolah ikut terhenti. Bukan hanya untuk istana—tapi juga untuk Hestia.
Ia memeluk dirinya sendiri, seolah berusaha menjaga sisa kehangatan yang tinggal. Tapi yang ia rasakan hanyalah… dingin.
Lebih dingin dari malam. Lebih tajam dari luka di medan perang.
“Aku... bukan kesatria... bukan apa-apa...”
Dan di antara napas sesalnya… ingatan pun datang membawa cahaya masa lalu.
—
Kilas Balik Masa Kecil Hestia
Arclight, tujuh tahun lalu.
Keluarga Neville adalah tembok pelindung keluarga kerajaan. Tapi tembok itu terlalu tinggi bagi seorang gadis kecil bernama Hestia.
Hestia muda—gadis pirang dengan mata penuh ambisi—berlatih pedang dengan semangat membara. Di hadapannya berdiri Gerand Neville, kakaknya yang gagah, sosok sempurna yang dielu-elukan banyak pasukan muda.
“Haaah!” seru Hestia, mengayun sekuat tenaga.
Tapi pedangnya hanya membelah angin. Gerand menghindar dengan mudah, lalu menepis dengan pukulan balik yang halus namun telak.
“Kau terlalu mudah ditebak,” katanya datar.
Hestia menggertakkan gigi. Ia kembali menyerang. Tapi…
Tep!
Satu tebasan—dan tubuh kecil Hestia jatuh tersungkur ke lantai.
Napasnya tercekat. Dadanya berdebar. Tapi bukan karena kelelahan. Karena… keraguan.
Gerand menatapnya dengan mata yang tak bisa dijelaskan. Antara kecewa dan… sayang yang dingin.
“Pedangmu tidak bernyawa, Hestia.”
“Jika kau ingin menjadi kesatria, temukan 'jiwa' dari tebasanmu.”
“Kalau tidak… jadilah gadis baik saja.”
Ia pergi meninggalkan ruangan. Tanpa pelukan. Tanpa kata maaf.
Sunyi.
Hanya ada suara jantung Hestia yang perlahan meredup dalam ruang latihan besar yang terlalu dingin bagi gadis sekecil dirinya.
“Jadi... aku tak layak menjadi kesatria?”
—
Keresahan Hestia Kecil
Hestia mengurung diri di kamar. Tidak ada latihan. Tidak ada suara. Hanya diam.
Sampai suatu malam… suara ketukan lembut terdengar.
Tok… tok… tok…
“Hestia, ini Ayah.”
Ia membuka pintu.
Dan di hadapannya berdiri sosok lelaki setengah baya yang penuh wibawa—Ayahnya—dengan mata yang menyimpan luka lebih dalam daripada yang bisa dimengerti anak kecil.
“Apa yang membuat putriku murung seperti langit badai, hm?”
Awalnya Hestia tak menjawab. Tapi ayahnya duduk di tepi ranjang, diam menemaninya. Sampai akhirnya...
“Aku kalah saat latihan dengan Kakak Gerand…”
“Dia bilang... pedangku tidak punya nyawa.”
“Dia bilang... lebih baik aku menjadi gadis baik.”
Ayah Hestia menghela napas pelan. Kemudian tersenyum tipis, tapi sorot matanya tidak menertawakan. Itu… sorot kesedihan yang lembut.
“Menjadi kesatria bukan soal menang atau kalah.”
“Bukan soal kuat atau tidak.”
“Yang terpenting adalah... mengapa kau mengangkat pedang itu.”
“Jika kau belum tahu kenapa, maka temukanlah sendiri alasanmu.”
Hestia menunduk. Tapi hatinya mulai terasa sedikit hangat.
Ayahnya berdiri, lalu berkata,
“Besok Ayah ditugaskan ke istana. Mau ikut?”
“Siapa tahu… jawabanmu ada di sana.”
—
Pertemuan Dua Anak di Langit Arclight
Langit istana hari itu bersih seperti kain baru.
Udara terasa segar, dan angin membawa wangi daun pinus muda yang tumbuh di sekitar taman tengah.
Di gerbang timur istana Arclight, seorang pria berseragam komandan pengawal berdiri tegak, tangan kirinya menggandeng tangan kecil seorang gadis pirang berseragam latihan.
Hestia Neville, anak perempuan dari keluarga penjaga kerajaan, berjalan sedikit gugup di samping ayahnya, Muller Neville, menuju ruang takhta.
Langkah mereka bergema lembut di lorong marmer putih.
Langkah seorang ayah yang bangga.
Langkah seorang anak yang… mencari arti dari dirinya sendiri.
Sesampainya di ruang takhta, Raja Arclight menyambut mereka dengan mata hangat.
“Jadi ini putri kesayanganmu, Muller?”
“Benar, Yang Mulia. Dia adalah putriku, Hestia.”
Ayahnya menunduk sopan, diikuti Hestia kecil. Kecil tapi teguh. Ia membungkuk hormat dengan gerakan khas kesatria.
Raja tersenyum.
“Hestia kecil, kau gadis yang baik. Mengikuti ayahmu saat bertugas? Betapa manisnya.”
“Saya ingin tahu, Yang Mulia.”