Aku sangat tidak menyukai keberadaan orang-orang asing ini yang dengan seenaknya menginjakkan kaki di kediaman kami. Ketidaksukaanku yang bermula dari doktrin Ibu, semakin menjadi ketika ada suatu kejadian menegangkan yang menimpaku.
Pada hari itu, aku sedang bermain-main sendirian di dekat semak-semak. Seperti biasa, Ibu sedang mencarikan makanan untuk santapan malam nanti. Saat sedang asyik berguling-guling di rumput yang empuk, tiba-tiba aku mendengar suara bising yang sepertinya datang dari sebuah mesin tua yang sudah sangat bobrok. Dengan cekatan, aku pun langsung melompat dan berlari kencang ke arah semak belukar. Aku mengintip dari sela-sela dedaunan yang cukup lebat untuk menutupiku. Entah mengapa tapi aku merasa orang asing yang datang kali ini terlihat lebih seram daripada orang-orang yang datang sebelumnya. Wajahnya terlihat muram dan masam, serta penuh keriput. Ia selalu memicingkan matanya dan pandangannya pun senantiasa tertuju ke bawah. Badannya kurus dan sangat kecil, ditambah lagi dengan posturnya yang membungkuk sehingga badannya terlihat sedikit melengkung. Ia mengenakan kaos tanpa lengan dan celana pendek yang turut memperlihatkan kulit tangan dan kakinya yang berkerut dan menggelambir.
Tak seperti orang-orang yang datang biasanya, ia tidak membawa tas karung dan senjata berbentuk sabit itu. Pak tua itu berjalan mondar-mandir kesana kemari seakan sedang mencari sesuatu. Setelah beberapa waktu, ia beristirahat dan duduk di dekat tempat persembunyianku. Haduh, celaka kalau sampai orang itu tahu. Ia sudah berada disini sangat lama sekali dan tak kunjung beranjak pulang. Aku merasa sangat khawatir dan berharap Ibu segera pulang.
Orang aneh itu tertunduk lesu dan menghembuskan nafas berkali-kali. Ia terlihat begitu frustasi. Seakan hendak memecah keheningan, ia tiba-tiba bergumam dengan nada yang begitu murung,