Langit terlihat cerah, udara di pagi ini begitu sejuk dan damai. Orang-orang mulai beraktivitas seperti biasa.
Seperti wanita berambut ikal itu yang tengah sibuk di dapur, suara dentingan spatula dan wajan saling beradu hingga ke kamar Mona.
Ya, Monalisa nama panjangnya. Gadis berusia enam belas tahun itu tengah memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya. Ia sesekali melirik arloji di tangan mulusnya.
"Mona ...." Terdengar teriakkan sang Mama. Membuatnya segera keluar dari kamar.
Mona melangkah tergesa-gesa menghampiri wanita berusia empat puluh tahun itu, ia mengenakan baju seragam putih abu-abu dan menggendong tas bersiap untuk pergi ke sekolah.
"Aku langsung berangkat, ya, Ma. Udah kesiangan," celetuk Mona sambil meraih gelas berisi susu hangat, lalu meneguknya perlahan.
"No! Enak aja, Mama udah siapin ini buat kamu, dan kamu gak mau makan?"
"Bukan gitu, Ma. Mona takut terlambat."
"Pokoknya Mama bilang nggak ya nggak! Kamu harus makan dulu," sergahnya. Mona mendengus kesal, ia tak akan pernah bisa menolak perintah wanita yang sudah mengandung dan merawatnya selama ini.
Meski sang Mama terlihat garang, bagi Mona dia adalah malaikat dalam hidupnya. Satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah sang Papa meninggal saat usianya masih sangat kecil, tiga tahun. Tentu Lisa--Mama Mona berjuang membesarkan anak gadisnya itu sendiri.
Lisa tersenyum kecil melihat putrinya mulai memakan apa yang sedari tadi disiapkannya, meski Mona terlihat gelisah dan terpaksa. Pikirannya entah ke mana.
Setelah makan, Mona berpamitan sebelum akhirnya pergi ke sekolah menaiki angkot. Jarak dari rumah ke jalan raya hanya beberapa meter, Mona berlari kecil sambil melihat jam di tangannya. Sesekali membetulkan kacamata yang ia kenakan.
Semakin ia percepat langkahnya semakin ia tak bisa menahan untuk berhenti merasa gelisah sebelum sampai di sekolah.
Ini hari pertama aku masuk di sekolah baru, aku tak boleh terlambat. Gumamnya dalam hati.
Tepat di sebuah halte, Mona berdiri di bibir jalan. Ia berharap masih ada angkutan lewat, jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Membuatnya semakin gelisah.
Tak lama angkutan umum dengan nomor 19 terlihat melaju dari arah yang berlawanan, lalu berhenti tepat di hadapan Mona. Sejurus kemudian ia masuk dan angkot itu melaju dengan kecepatan sedang.
***
Tiba di sebuah bangunan besar dan bertingkat, 'SMA N 01 INDONESIA'. Mona turun dari angkutan yang ia naiki. Lalu berhenti sejenak di depan gerbang, memandang kagum bangunan sekaligus tempat indah yang akan menjadi tempatnya mengejar ilmu.
Masih banyak teman-teman yang baru sampai. Kini gadis berkacamata itu sudah merasa lega, ia tak sampai terlambat. Baru saja Mona akan melangkah, tiba-tiba dari arah belakang, sepeda motor Ninja 250R berwarna merah dengan cepat menyerempet tubuh kurusnya hingga terjatuh.
"Aw!" pekiknya sambil meringis. Tangan Mona terlihat lecet dan sedikit berdarah.
Namun, sang empunya motor tak peduli dengan seorang gadis yang tengah kesakitan akibat perbuatannya. Bahkan sekedar untuk meminta maaf pun tak ia lakukan, wajahnya tertutup oleh helm. Membuatnya dengan leluasa meninggalkan Mona.
"Lo gak apa-apa?" Seorang cowok tampan datang mengulurkan tangannya pada Mona. Gadis itu mendongak ke arah pria yang sudah dengan tulusnya bersimpati dengan keadaannya.
"Aku gak apa-apa, kok. Makasih," kata Mona. Ia menyambut tangan cowok berambut cepak itu untuk bisa berdiri.