Rindu Yang Tak Pernah Diam

Iir
Chapter #1

Terbang Bersama Awan

Disini, di titik pusat pertemuan empat penjuru tanah Jawa, kita berjanji untuk menua bersama

Pelan-pelan Samaratungga duduk sembari mendekati rakyatnya yang menderita. Perasaannya dipenuhi rasa gundah, iba dan terharu melihat rakyatnya yang tersiksa akibat diperbudak hawa nafsu. Rani terkesima...Ia seperti melihat seorang pria yang sudah ia kenal lama tapi entah dimana, semacam dejavu. Ia pun mencoba kembali konsentrasi menyaksikan Sendratari Mahakarya Borobudur yang melibatkan 200 seniman ini. Sendratari yang memadukan tarian istana Kasunanan Surakarta dan tarian rakyat yang hidup dan berkembang di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Warisan seni yang telah berkembang sejak zaman Mataram Kuno ababd VII. 

Tari kolosal pun dilanjutkan dengan adegan semaraknya rakyat dalam membangun candi. Meskipun kemudian muncul roh-roh jahat berbentuk raksasa yang menggoda dan menghancurkan rakyat. Lagi-lagi Samaratungga muncul membangkitkan semangat rakyat putra dan putri, yang akhirnya kembali bergotong-royong, bahu-membahu menggendong bebatuan, memecah bebatuan, memanggul bebatuan, menarik arca, dan membuat kerangka stupa besar. Disusul membuat kerangka arca besar. Selesai sudah pembangunan stupa. Doa pun dipanjatkan oleh seluruh rakyat dipimpin oleh biksu berbusana selembar kain kuning langsat, memegang tasbih dengan rambut yang di gelung jegul. Kisah drama pun selesai, di barengi riuh tepuk tangan penonton. Sebelum beranjak keluar dari kursinya dengan rasa puas melihat sajian yang baru ia saksikan, Rani menyadari satu hal bahwa, drama kisah kehidupannya belumlah final. Tidak seperti kebanyakan kisah lainnya yang berakhir bahagia atau nestapa. Jalannya cerita hidupnya sendiri harus berakhir dengan rindu yang menjerit-jerit dan mendesak kalbu. Rindu yang tak pernah diam, yang ia tidak tahu pasti, kapan akan berakhir dan menemukan titiknya.

Ini tentang rindu. Rindu yang tak pernah diam padamu. Rindu yang menyesak dada hingga berbilang hari, bulan dan tahun. Tanpa pernah ku tahu, apakah masih pantas menyimpan rindu ini. Namun, aku masih tetap menyimpan harap suatu hari nanti, rindu yang setia mengikutiku ini, akan bertemu titiknya yaitu dirimu.

Bandara Soekarno Hatta terlihat cerah pagi ini, secerah wajah Rani yang berwarna kuning langsat. Rambut hitam bergelombangnya tergelung indah dan rapi. Dengan percaya diri, Rani melangkah menuju si burung besi, tempatnya bertugas selama beberapa tahun ini sebagai salah satu awak cabin maskapai terbesar. Seragam batik orange rancangan seorang designer ternama berukuran M, membalut tubuh mungilnya nan proporsional dengan tinggi 160 cm. Kurang 1 cm saja tingginya, maka tak mungkin ia bisa bekerja disini sebagai seorang pramugari bintang 5.

Penghargaan yang ia dapatkan sebagai best cabin crew, adalah sebuah kebanggaan sekaligus beban baginya. Meskipun yang terpendek diantara kru pesawat, ia salah satu yang terbaik. Tak mudah jalannya untuk diterima sebagai pramugari. Sebagaimana usahanya agar terpilih menjadi flight attendent terbaik. Maskapai ternama dan terbesar di negerinya ini. Meskipun pernah gagal tes masuk, namun bukan Rani namanya yang gampang menyerah begitu saja. Keras kemauan dan keras kepala yang diturunkan almarhum ayahnya, begitu melekat pada jiwanya. Hingga tahun berikutnya ia kembali mencoba mengikuti seleksi dan akhirnya diterima di maskapai paling besar, sesuai impiannya. Sambil menyeret kover ungunya, yang berlomba-lomba dengan suara riuh para penumpang menuju terminal kedatangan dan keberangkatan, Rani melangkahkan kaki rampingnya menuju pintu khusus Cabin Crew and Staff. 

 “Pagi ini udaranya sangat cerah ya Ran," sapa Erna temannya satu profesi, begitu mereka sudah berkumpul di dalam pesawat sebelum penumpang dibiarkan masuk.

“Iya. Kayaknya setelah ini kamu sudah siap menyambut penumpang ya Er? Moga gak ada lagi yang aneh-aneh ya, kayak kemarin."

Lihat selengkapnya