Rindu Yang Tak Pernah Diam

Iir
Chapter #4

Pulang Ke Kotamu

Kau tahu? Sesungguhnya hidup ini adalah sebuah perjalanan. Perjalanan untuk menemukan arti kebahagiaan. Dan sejauh apapun kau berjalan, suatu saat kau pasti akan merindukan pulang. Pulang ketempat dimana kebahagiaan sejati yang sesungguhnya berada yaitu rumah

Sugeng Rawuh...

Rani melangkah ringan menuju tanah kelahirannya desa Candirejo. Desa yang kini sudah diresmikan menjadi Desa Wisata karena keindahan di lingkungannya. Rasa lelahnya setelah 1 jam berkendara dari Yogyakarta pun terbayar. Desa kelahirannya yang selalu ia rindukan. Meskipun ayahnya telah tiada, tapi setidak-tidaknya masih ada ibu yang menunggu dan menyayanginya. Walau tak utuh lagi, karena kini kasih sayang dan kehangatan itu terbagi dengan adik-adik tirinya.

Ia sudah sangat rindu menatap 4 buah gunung yang berdiri kokoh dari puncak Suroloyo. Lalu berteriak sepuasnya saat hatinya galau dan disesaki masalah. Selain juga rindu berendam di banyu asin yang terasa hangat di kulit bersihnya. Air yang permukaannya akan tetap sama, baik di musim panas maupun di musim hujan. Air tuah yang konon dipercaya akan membawa kesehatan dan kemudahan rejeki, karena berasal dari air seni kuda Pangeran Diponegoro.Tak hanya itu, ia juga rindu memandang Borobudur Sunrise di antara angkasa dari puncak bukit menoreh, disaat awan tergantung indah penuh pesona dari atas bukit. Ia juga bangga karena desanya tak hanya indah, tapi juga menyimpan sejarah keberanian Pangeran Diponegoro bersama pasukannya sewaktu perang melawan kompeni. 

'Cah Ayu, kamu pasti lelah ya Nduk, " Ibu menyambut kepulangannya dari terbang seperti biasa dengan pelukan dan kecupan di keningnya.

"Sini Ranti bawain tasnya Mbak, " adik tirinya menawarkan diri. Rani hanya tersenyum sekilas, merasa belum terbiasa dengan panggilan Mbak. Selama ini dia anak ibu satu-satunya alias anak tunggal. Tak ada yang pernah memanggilnya Mbak atau Dik, di rumah ini. Tampaknya ia harus membiasakan dirinya menerima panggilan itu.

"Tidak usah, makasih," jawabnya masih kaku sambil tersenyum.

"Ya udah, sekarang istirahatlah dulu. Nanti kalau sudah hilang capeknya segera turun ke bawah. Ibu sudah masak makanan kesukaanmu loh Nduk," Ibu berkata sambil memeluk pinggangnya memasuki ruang utama. 

"Nggih Bu, Rani pamit dulu ke kamar atas. Oh ya, Rani bawa oleh-oleh buat Ibu."

"Wah, oleh-oleh apa Nduk? Tapi kamu istirahatlah dulu. Nanti saja tunjukin ke Ibu ya?"

"Baik Bu, Rani pun menuruti perintah Ibunya dan segera menaiki tangga kayu jati rumahnya."

Rani menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, setelah meletakkan tasnya di atas meja rias. Beberapa menit kemudian beranjak dari peraduan membongkar oleh-oleh yang ia beli untuk dirinya dan Ibu. Souvenir-souvenir unik dan cantik ia susun rapi di dalam lemari kaca miliknya. Ia memang hobi berburu barang dan souvenir menarik dari setiap negara. Rani memajangnya disamping foto masa kecil bersama kedua orangtuanya. Ia ambil foto tersebut dan pandangi sambil tersenyum kecil. Akh ibu, tak banyak berubah masih cantik, penuh kasih dan awet muda meski usianya hampir menginjak 50 tahun. Tak heran, masih banyak pria yang jatuh hati pada ibunya hingga akhirnya ada seorang duda nekad mengajak ibu membangun rumah tangga bersamanya. 

Sejak ibunya memilih menikah lagi entah mengapa, kehangatan di rumahnya sering berganti dengan hawa panas kemarahan dan rasa kesal. Desy yang jutek abis, kerap menguji kesabarannya. Adik tirinya yang sedikit norak dan banyak maunya alias manja. Bertolak belakang dengan dirinya yang sudah mandiri sedari kecil, meskipun ia anak semata wayang. Menurutnya kemandirian itu penting, mengingat tak selamanya kita hidup bisa terus bergantung pada orang lain. Bukankah bila nanti kita mati juga sendiri? Tak ada sesiapun yang akan menolong selain amal kebaikan kita.

Ia masih ingat saat ayahnya berani melepaskannya naik pesawat sendirian mengunjungi Om nya di Belanda. Saat ia merengek pengen pergi keluar negeri di usia 10 tahun. Ayah hanya menitipkannya pada seorang pramugari dalam pesawat sampai ke Bandara Amsterdam. Lalu Om nya menunggu dengan sabar di jalur tunggu penumpang. Sejak itulah dia tertarik menjadi pramugari, agar bisa keliling dunia. Selain itu dia melihat betapa anggun, cantik dan baiknya sosok seorang pramugari yang suka menolong. Setelah dewasa dan menjadi pramugari, barulah ia mengerti bahwa modal keanggunan, kebaikan hati dan cantik saja tidaklah cukup. Ia juga harus cerdas, memiliki kepedulian dan berani. Mengingat nyawa para awak cabin yang satu profesi dengannya, setiap saat bisa saja direnggut oleh kematian. Entah karena kecelakaan, pesawat hilang, atau resiko di bajak dan di bunuh, seperti berita yang santer ia baca di media. Belum lagi bila pesawat di bom oleh para teroris, yang kian nekat melancarkan aksi yang menurut mereka sebagai jalan jihad.

Lihat selengkapnya