Rani sebenarnya belum puas menikmati keindahan alam desa Simbahnya dan ingin selalu kembali ke Puncak Suroloyo. Namun ia harus pulang karena lusa sudah kembali terbang menuju Turki. Jalanan basah karena pagi ini rintik hujan jatuh ke bumi. Membuatnya semakin enggan untuk pulang ke Candirejo rumahnya. Tapi ia masih rindu dan ingin melepaskan kangen pada Ibunya, sehingga tak bisa berlama-lama akibat waktu yang sempit.
"Salam buat Ibumu ya Cah Ayu," Simbah melepasnya pulang dengan mata berembun. Membuat rasa haru di dadanya membuncah.
"Kapan-kapan jangan lupa kesini lagi. Kakek masih kangen sebenarnya Nduk," ucap Kakek sambil mengelus rambut sebahunya.
"Pastilah Kek, Rani juga masih ingin terus mendengar cerita dan guyonan Kakek. Juga menikmati masakan Simbah yang selalu ngangenin," jawabnya sambil memeluk Kakek dan serasa tak ingin melepasnya karena masih rindu.
Rani pun pamit lalu menuju mobil Avanza putihnya yang terparkir di garasi rumah orangtua ayahnya itu. Dari balik kaca mata American Optical Silvernya yang juga biasa dipakai para pilot tersebut, ia turunkan perlahan sebelum sekali lagi ia lambaikan tangan sambil melajukan mobilnya. Sampai kapanpun ia sadar, dirinya adalah pilot bagi hidupnya sendiri, bagaimanapun keadaannya. Entah itu disaat ia dilanda masalah hingga bisa membuatnya susah, senang, sedih dan juga rindu. Ia susuri jalanan dengan hati-hati agar tidak tergelincir. Sambil melemparkan pandangan ke petak-petak sawah dan ladang hijau di kiri kanannya. Gunung dan bukit tegak berdiri dengan gagah di hadapannya.
"Tirulah gunung yang tetap kokoh berdiri, meski hujan, badai dan angin topan menghantam." Nasihat ayahnya saat ia menginjak remaja. Petuah yang terus terngiang-ngiang hingga kini. Apapun yang menerpanya saat ini dan nanti, ia selalu berdoa untuk tak pernah mudah goyah seperti gunung apalagi sampai runtuh. Namun bila saatnya harus ada yang dimuntahkan sebagaimana muntahnya gunung meletus, tetap harus ia keluarkan demi kebaikan, bukan untuk sebuah bencana.
Kekecewaannya pada ibu yang memilih menikah lagi, membuatnya hampir mengeluarkan lahar kemarahan. Tapi demi melihat kebaikan yang Ibunya dapatkan yaitu memiliki teman berbagi yang ada setiap saat di sampingnya, kemarahannya pun perlahan surut berganti dengan rasa syukur. Ia tahu, tak selamanya bisa menemani Ibu, apalagi kalau dia sudah menikah dan ikut suami. Menikah? Sebuah kata yang ia impikan sekaligus membuatnya cemas. Namun ia selalu berusaha menghalaunya bila kecemasan itu sudah di depan matanya, yaitu saat hatinya mulai memikirkan pria yang selalu mengejarnya belakangan ini. Sesosok makhluk yang tiba-tiba mulai menghuni hati dan pikirannya.
"Rani sayang, ke mana aja sih Nduk? Kok lama bener perginya?" Ibu menyambutnya di depan rumah saat ia baru keluar dari mobilnya.
"Kan nginap di rumah Simbah Bu, gimana kabar ibu."
"Alhamdulillah baik. Iya Ibu tahu, tapi kenapa sampai berhari-hari, apa ndak kangen sama ibumu ini?"
"Justru itulah Rani pulang Bu, soalnya biar bisa bersama Ibu lagi sebelum kembali bekerja," jawabnya sembari memeluk erat Ibunya.