Rama memutuskan untuk naik Trans Yogya, karena motornya lagi dalam perbaikan. Ia sudah rindu ingin mengunjungi Omanya di Kampung Ketandan. Namun sebelumnya hendak singgah dulu di rumah Ahmad, teman sekolahnya sewaktu di SD Muhammadyah. Sudah lama sekali ia ingin bertemu, sekalian ada yang ingin ia tanyakan lebih dalam tentang sejarah Kampung Sang Pencerah tersebut. Sebab ia ingin melaksanakan pagelaran teater yang berhubungan dengan sejarah kota ini. Kesibukannya menyelesaikan tugas akhir di kampus ISI, begitu menyita waktu. Belum lagi kegiatan teaternya, yang membutuhkan latihan dan perencanaan yang matang.
Beberapa menit kemudian Trans berhenti tidak jauh dari titik nol Yogya, dan tinggal jalan kaki saja. Ia susuri jalanan sembari memanggul gitarnya, hingga sampai di alun-alun utara, dimana terlihat keramaian warga memenuhi Perayaan Sekatenan yang baru beberapa hari dimulai. Perayaaan yang dikenal dengan Grebeg Mulud atau dikenal juga dengan Grebeg Sekaten yang diadakan setiap tahunnya. Berbagai hasil alam seperti kacang panjang, lombok merah, beras ketan, buah-buahan dan sebagainya akan dijadikan sebagai bahan Gunungan Sekaten. Sedikitnya ada enam buah gunungan yang musti dibuat dalam waktu beberapa hari sebagai kucah dalem atau sedekah raja. Sebelum Gunungan Sekaten nantinya diperebutkan masyarakat saat pembukaan perayaan.
Menurut sejarah yang pernah ia baca, konon katanya ada ritual tertentu yang dilakukan para abdi dalem sebelum memulai pekerjaan pembuatan gunungan di acara sekaten, yaitu sehari sebelum bekerja, mereka melakukan laku prihatin dengan berpuasa sebagai bentuk penyucian dan pembersihan diri serta penenangan pikiran. Selain itu mereka juga berpantang nyampur atau melakukan hubungan suami isteri, 40 hari sebelum dimulainya pembuatan gunungan. Maka tak heran bila abdi dalem perempuan yang ikut membuat gunungan adalah mereka yang sudah niwas getih atau menopause. Hal ini dilakukan demi menjaga kesucian dan kesakralan prosesi pembuatan gunungan tersebut.
Ia memilih ngadem sebentar di bawah pohon beringin, di depan gedung PDHI, utara Masjid Gedhe Kauman. Lokasi potong rambut klasik dan legendaris yang dulu selalu ramai setiap hari mulai pukul 09.00-17.00 karena tarifnya yang relatif miring plus sensasi liyer-liyer (terkantuk-kantuk terkena angin sejuk pohon beringin) Biasa disebut juga potong pithingan, lantaran sang pencukur kadang-kadang mithing alias memegang-megang serta mengarahkan posisi kepala yang di potong untuk mempermudah proses pembabatan rambutnya. Atau potong rambut ABRI Mung nDase ( AMD) alias military-look alias potong-bross alias potong cepak bak Kopral Jono.
Ia tersenyum-senyum sendiri, ingat dulu manut aja disuruh potong rambut oleh ayahnya disini. Potong rambut model ABRI Mung nDase yang paling populer. Yaitu teknik memotong rambut dengan cara memotong habis sisi kanan-kiri dan belakang rambut, dengan menyisakan rambut tipis di sisi atas layaknya potongan serdadu. Sekarang jangan harap ia mau memotong rambut gondrongnya, meskipun ayahnya berkali-kali menyarankannya.
Beberapa menit kemudian ia beranjak menuju masjid gede yang dekat dengan Keraton. Masjid tertua yang dibangun tanggal 29 Mei 1773 oleh Kerajaan Islam Ngayogyakarta Hadiningrat. Begitu sampai di depan masjid, dia melihat anak-anak SD Muhammadyah Kauman sedang melaksanakan praktek sholat. Ia tersenyum, ingat dulu juga pernah shalat disini bersama Ahmad.
Ia tak pernah lupa, bagaimana sabarnya Ahmad menghadapi kejahilannya waktu sujud. Sungguh menarik menelusuri setiap sudut mesjid yang bangunannya sangat unik menurutnya. Sambil menunggu anak anak selesai, ia pun bersemangat memandangi kemegahan dan keunikan masjid yang berarsitektur budaya Islam Jawa dengan ornamen berlapis emas. Penyusunan batu kali putih sebagai dinding masjid tanpa menggunakan semen atau bahan perekat lainnya, keunikan lain yang ia temukan. Matanya memandang takjub penopang bangunan masjid yang menggunakan kayu jati utuh yang telah berusia ratusan tahun. Ia putuskan untuk duduk di lantai ubin mesjid sembari membaca buku yang selalu ada di tasnya, kemanapun ia pergi.
Setelah puas berkeliling masjid dan anak anak selesai praktek sholat, dia pun segera menuju tempat wudhu untuk pria di sayap kanan mesjid. Sedangkan di sayap kiri disediakan untuk wanita. Penuh hati-hati ia menggulung tangan bajunya lebih keatas. Kaus kaki telah lebih dulu ia buka sebelum masuk ke dalam area bersuci. Bismillahirrahmanirrohim. Air terasa sejuk membasuh wajah dan tangannya. Shalat zuhur pun ia jalani kali ini di Masjid Gede Kauman dengan sepenuh hati, sebelum ia lanjutkan perjalanan menuju perkampungan Kauman.
Kini dia berada di Jalan Gerjen, jalan yang ia temui sebelum sampai di Suronatan dan Notoprajan. Konon kata Ahmad, jalan-jalan di sini memiliki arti dimana Gerjen artinya penjahit, sehingga jalan ini dulu merupakan kawasan komunitas para penjahit. Demikian juga dengan Suronatan, merupakan kawasan abdi dalem yang mengurusi keagamaan dalam keraton sehingga disebut juga kampung santri. Sementara Notoprajan sendiri merupakan kawasan komunitas pegawai dan tata pemerintahan. Dari Notoprajan ia berbelok masuk ke gang Kauman dan menelusuri gang sembari menatap takjub warna khas rumah rumah kauman, mesjid dan madrasah madrasahnya yang didominasi warna hijau. Meskipun di gang berikutnya, warga kauman mengganti warna hijau cat rumahnya dengan warna lain.