Rani memutuskan untuk memarkir mobilnya tak jauh dari titik nol Yogya. Melanjutkan perjalanannya ke pasar Bringharjo dengan berjalan kaki. Sambil memandang jejeran bangunan lama bergaya kolonial di kiri kanan jalan yang merupakan ikon kota Yogya, Malioborro. Betapa dibalik tembok-tembok bangunan lama tersebut tersimpan banyak jejak sejarah kota ini. Baginya kawasan ini selalu meninggalkan kesan mendalam dihatinya, hingga ia selalu kangen akan tempat ini. Apalagi para wisatawan yang sesekali berkunjung ke kota kelahirannya ini.
Pulang ke kotamu... Ada setangkup haru dalam rindu...
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku penuh selaksa maknaaaa...
Lagu Yogyakartanya Kla Project, seakan berdendang mengiringi langkah kakinya
Ia putuskan untuk menyusuri arcade, sebelum belanja oleh-oleh berupa souvenir dan aneka cenderamata, karya para pegiat seni kota ini. Belum lagi aneka batik titipan temannya, selain belanja berbagai keperluan selama ia terbang ke Turki. Suara derap kaki delman menyambut kedatangannya, meskipun tak sejernih saat ia kecil dulu, karena bercampur dengan hiruk pikuk laju kendaraan yang kian padat berlalu lalang. Mall-Mall dan ruko berdiri saling berhimpitan, seolah tanpa celah saking rapatnya. Yogya memang kian sesak dan panas, namun tetap menyimpan kehangatan dan keramahtamahan.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat lampu jalan bertiang yang terdiri dari tiga lampu kuno dari kaca patri yang melayang dicengkram tangan-tangan tiangnya. Tertulis Jalan Malioboro menggunakan huruf latin dan aksara jawa, di bawah tiang lampu kaca patri. Biasanya setiap yang singgah ke jalan ini, akan mengabadikan foto dirinya di bawah plang nama jalan setinggi bahu orang dewasa tersebut. Seolah-olah sudah menjadi Ikon bahwa yang datang kesini, tidaklah sah bila belum berfoto di bawah lampu berukir daun yang melengkung berirama itu. Ornamen yang menggambarkan tipikal masyarakatnya yang ramah, bersahabat dan menghormati orang lain. Lalu segera mengunggahnya di akun media sosial, sekedar ingin menunjukkan pesan pada dunia
"Aku telah sampai di Jogja loh, kapan kalian menyusul?" sambil memasang wajah semanis mungkin dibarengi seulas senyum lebar.
"Yah, kenapa jalan ini disebut jalan Malioborro?"
"Begini Nduk, konon kata Malioborro dalam bahasa Sansekerta bermakna karangan bunga. Tak heran dimasa lalu ketika keraton mengadakan acara besar, maka jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga. Nama jalan Malioboro sendiri awalnya tersemat gara-gara panglima Inggris Marlborough beserta pasukannya sering melintasi jalan ini. Jalan yang dulunya masih lengang dan hanya terdiri dari satu jalur saja. Karena belum begitu banyak kendaraan lewat dan para pedagang kaki lima di sepanjang trotoar seperti sekarang. Lalu oleh pribumi di sebutlah Marboro, karena rakyat jawa waktu itu tidak fasih mengucapkannya dalam bahasa Inggris. Hingga akhirnya resmi dinamai Jalan Malioborro sampai sekarang."