Jakarta, 20 Januari 2015.
Dua puluh hari setelah kembang api meledakkan langit kota, setelah orang-orang saling berpelukan dan berteriak berharap tahun baru membawa keberuntungan, Jakarta kembali menjadi dirinya yang sebenarnya. Bukan kota perayaan, melainkan kota perjuangan. Kota yang tidak menunggu siapa pun, juga tidak peduli siapa yang tertinggal.
Pagi itu matahari memanjat langit dengan keangkuhan yang malas. Seolah Jakarta tidak pernah cukup panas, hari ini ia menyalakan apinya sedikit lebih tinggi. Jalanan terasa seperti wajan yang menggoreng kesabaran manusia.
Di perempatan itu, klakson memantul dari satu mobil ke mobil lain, seperti bola panas yang dilemparkan tanpa henti. Suara itu memenuhi udara, mengisi kepala manusia sampai terasa ingin pecah. Dan seperti biasa, emosi lebih cepat meluap ketika cuaca memanas.
Seorang gadis menuruni mobilnya dengan wajah merah padam dan keringat menetes di pelipisnya.
“Pak, kan cuma dua menit. Numpang bentar doang. Masak 10 ribu?” katanya, suaranya bergetar antara lelah dan kesal.
Tukang parkir itu tidak menatapnya lama. Hanya mengangkat tangan seolah keputusan sudah turun dari surga.
“Udah biasa, Neng. Mobil ya segitu.”
“Pak… Pak…” gadis itu mendesah pasrah, menyeringai getir. Dia menyerahkan uang itu, lalu kembali ke mobil.
Ironisnya, begitu uang berpindah tangan, tukang parkir malah meninggalkan mobilnya begitu saja, sibuk mengatur mobil lain yang baru datang.
“Pak! Parkirinnya dulu dong!” Gadis itu hampir berteriak, tapi lelaki itu pergi tanpa menoleh.
Jakarta memang punya caranya sendiri untuk menguji batas kesabaran manusia.
Semakin siang, panas semakin menyengat. Rasanya keringat pun sudah terlalu lelah mengalir dan ingin berhenti bekerja. Jakarta penuh gerutu, umpatan kecil, dan tatapan kesal yang dilemparkan ke udara.
Di sebuah jalan yang macet, seorang ibu-ibu mengendarai motor. Tangan kirinya memencet sen kanan. Tangan kanannya memencet sen kiri. Orang-orang di belakangnya ingin marah, tapi hanya bisa menggeleng karena… ya begitulah ibu-ibu Indonesia, tidak pernah benar-benar salah, tapi juga tidak pernah benar-benar betul.
Di sisi lain, para pedagang kaki lima mengambil alih bahu jalan. Lapak-lapak kecil mereka seperti akar pohon yang tumbuh sembarangan: tidak teratur, tidak bisa ditebang, tapi selalu hadir. Mereka menjual gorengan, kopi, es buah, baju-baju murah, kabel HP, jam tangan KW, dan segala macam benda yang entah siapa pembelinya. Namun di Jakarta, selalu ada yang membeli.
Para pengendara memelankan kendaraan, sebagian kesal, sebagian memaklumi.
Di tengah panas dan hiruk pikuk, polisi berdiri di setiap sudut, bersiaga seperti patung hidup. Tidak tahu siapa yang salah, tapi semua orang merasa bersalah setiap berpapasan dengan mereka. Helm lengkap, SIM ada, spion ada, tapi tetap saja jantung berdebar: takut salah, takut ditilang, takut diinterogasi.
Jakarta selalu punya cara membuat orang merasa berdosa bahkan sebelum melakukan kesalahan.
Kesibukan kota bukan hanya di jalan. Pasar juga memiliki denyutnya sendiri.
Di pasar tradisional, suara orang teriak seperti konser tanpa musik pengiring.
“CEPET! CEPEEET! GANTI MOBIL! BONGKAR!” teriak pedagang sayur.
“MASUKIN! MASUKIN KARUNG BERASNYA! CEPAT!” pedagang beras tidak mau kalah.