Dua puluh hari setelah tahun baru.
Kembang api sudah lama padam, suara terompet tinggal kenangan, dan euforia pesta berganti menjadi kenyataan: Jakarta kembali berlari, dan semua orang dipaksa ikut berlari bersamanya.
Hari itu matahari menggantung rendah dengan panas yang menusuk kulit. Jakarta terasa seperti wajan raksasa, jalanan menguapkan aroma aspal dan debu, membuat setiap napas terasa berat. Klakson kendaraan saling sahut, seperti sedang berteriak karena kelelahan dan kemarahan yang menumpuk.
Di antara kerumunan itu, seorang wanita muda berjalan cepat sambil menahan gerah.
“Panas sekali hari ini…” gumam Sarah sambil mendongak ke langit yang tak menampakkan belas kasihan sedikit pun.
Keringat menetes di pelipisnya, merembes melalui kerah seragam putih yang baru saja disetrikanya pagi tadi. Rambutnya yang panjang diikat rapi, wajahnya tetap dipoles riasan tipis, citra seorang SPG harus dijaga, mau selelah apa pun hatinya.
Sambil berjalan menuju halte TransJakarta, matanya sempat menangkap seorang wanita keluar dari mobil merah mengilap.
Sarah berhenti sejenak.
“Kapan ya aku bisa seperti itu… naik mobil, tak kepanasan, tak perlu buru-buru mengejar waktu. Hidup tenang, tak terus-menerus mencari uang…”
Ada nada iri di dalam kalimatnya, tapi bukan iri yang buruk, lebih seperti kerinduan panjang yang tak pernah usai.
Halte TransJakarta penuh seperti biasa. Orang-orang berdiri berdempetan, sebagian menunduk menatap ponsel, sebagian lainnya memejamkan mata, mungkin berusaha mengumpulkan tenaga menghadapi hari yang entah akan membawa apa.
Saat bus datang, Sarah masuk dan merebut satu kursi di pojok. AC memang menyala, tapi hatinya tidak pernah benar-benar sejuk.
Ia menatap keluar jendela. Melihat gedung demi gedung melintas, warung-warung yang berjuang hidup di bawah bayang-bayang kota, dan manusia-manusia yang sama lelahnya seperti dirinya.
Tiga tahun bekerja, gajinya tak pernah cukup. Jabatan tak pernah naik. Mimpi terasa makin jauh.
“Apakah tahun ini aku akan naik jabatan?” katanya pelan tanpa sadar.
“Apa lagi yang harus aku lakukan… aku sudah lelah.”
Ia menegakkan punggungnya. Orang-orang mungkin menganggapnya percaya diri, tegas, pekerja keras. Mereka tak tahu betapa hatinya rapuh, rapuh karena harapan yang terlalu lama menggantung di udara.
Taman Graha Jakarta, pusat perbelanjaan besar, berdiri megah di depan matanya. Di sini Sarah bekerja sebagai SPG. Di balik senyum ramahnya kepada pelanggan, ada ratusan cerita yang tak pernah diceritakan pada siapa pun.
Sarah menarik napas panjang, mengusap wajah agar riasannya tetap rapi. Saat menjejakkan kaki di lantai mall, ia berubah menjadi versi dirinya yang “sempurna”: rapi, sopan, ramah, anggun.
Padahal, jauh di dalam hati, ia hanya seorang gadis yang sedang berjuang untuk tetap bertahan hidup.
Di tempat kerja, persaingan untuk naik jabatan begitu keras. Bukan hanya dari mereka yang sudah bekerja bertahun-tahun, tetapi juga dari karyawan baru yang memiliki “orang dalam”.
Sarah tidak punya itu semua.
Sarah hanya punya kerja keras. Itu saja.
Ia tidak berasal dari keluarga berpendidikan tinggi. Lulusan SMA. Baru tahun ini kuliah sambil bekerja. Tapi cara bicaranya, cara ia mengajukan pendapat, cara ia mengelola masalah, sering membuat managernya kagum.
Sayangnya… kemampuan saja tidak cukup di kota besar seperti Jakarta.
Tantangan terbesarnya bukan pekerjaannya.
Tantangan terbesarnya adalah gosip.
Sarah tidak pernah menutupi siapa dirinya. Di pagi hari, ia bekerja. Malam hari, ia keluar mencari hiburan: kadang karaoke bersama teman, kadang sekadar duduk di kafe menenangkan diri.
Tapi di lingkungan kerja?
Itu adalah bahan empuk untuk dibicarakan.