Pagi selalu datang terlalu cepat bagi Larasati.
Belum sempat lelahnya hilang setelah pulang kerja malam, matahari sudah mengintip lewat celah-celah jendela rumah kecil itu, rumah sederhana yang kini hanya dihuni dua orang: Larasati dan ayahnya.
Rutinitas paginya tidak pernah berubah selama tiga tahun terakhir. Dia akan bangun, membasuh wajah, dan langsung menuju dapur mungil yang catnya mulai mengelupas. Air panas ia rebus perlahan, lalu ia seduh kopi yang aromanya selalu mengisi seluruh ruangan.
“Kopinya sudah jadi, Yah…” Bisiknya lembut.
Ayahnya, lelaki yang dulu tegap, kuat, gagah, kini hanya mampu menjawab lewat gerakan mata. Stroke telah merenggut semua kemampuannya; dari berbicara, berjalan, hingga sekadar mengangkat tangan. Namun senyum kecil di bibirnya setiap kali Larasati memegang tangannya adalah bukti bahwa ia masih mampu merasakan cinta.
Setelah memberikan kopi dan memastikan ayahnya nyaman, Larasati menyiapkan makanan kecil, roti lembut yang mudah ditelan, bubur halus, dan obat-obatan yang harus diminum tepat waktu.
Tiga tahun sudah.
Tiga tahun lamanya ia menggantikan peran seorang istri, seorang kepala keluarga, seorang anak, seorang perempuan yang bertahan atas luka-luka yang tak pernah direncanakannya.
Ketika matahari semakin tinggi, Larasati bersiap pergi ke warung bibinya. Tempat kecil di ujung gang, dengan papan kayu tua bertuliskan Warung Bu Rika. Suasananya selalu ramai menjelang siang, dan Larasati dengan cekatan membantu menyiapkan pesanan pelanggan. Upah satu juta per bulan bukanlah jumlah besar, namun itu adalah penyambung hidup, penyelamat obat ayahnya.
Namun di tengah kesibukan itu, selalu ada satu pertanyaan yang membuat dadanya sesak tiap kali mendengarnya.
“Kapan nikah, Ras?”
“Gak mau nyusahin bibi terus kan?”
“Umurmu udah lewat, nanti keburu tua!”
Pertanyaan yang mungkin terdengar biasa bagi orang lain, tetapi bagi Larasati itu seperti pisau yang menusuk pelan namun terus-menerus.
Menikah…
Bagaimana mungkin ia memikirkannya, sedangkan ayahnya membutuhkan dirinya setiap detik?
Satu-satunya keluarga yang ia punya hanyalah lelaki yang kini terbaring lemah di rumah. Lelaki yang dulu bekerja keras tanpa keluhan, yang selalu pulang membawa senyuman meski tubuh pasti lelah. Lelaki yang selalu membangunkannya dengan suara lembut setiap pagi.
Larasati selalu berkata pada dirinya sendiri:
“Ayah dulu hidup untukku. Sekarang giliranku hidup untuk Ayah.”
Cobaan terbesar dalam hidup Larasati bukanlah lelah bekerja.
Bukan pula tekanan ekonomi.
Melainkan ibunya.
Ibu yang meninggalkan rumah empat tahun lalu. Ibu yang pergi tanpa pesan, tanpa alasan, tanpa pamit. Yang meninggalkan ayahnya dalam keadaan sakit. Dan meninggalkan Larasati dengan luka yang tak pernah sembuh.
Bukan hanya pergi, ibunya meninggalkan jejak masalah berupa hutang yang kini ditagih tanpa ampun.
Tiap kali debt collector mengetuk pintu rumah kecil itu, hati Larasati terasa ingin pecah. Ia ingin marah, ingin menjerit, ingin memaki… namun ia menahan semuanya. Karena ayahnya selalu terlihat sedih setiap kali nama istrinya disebut.
Dan demi menjaga hati ayahnya, Larasati memilih diam.
Menelan amarah.
Mengubur kecewa.
Hingga suatu malam, ketika ia pulang kerja dan mendapati ayahnya terjaga menatap langit-langit, ia berkata pelan:
“Maafin Ibu, Ras… Dia pergi pasti karena terpaksa.”
Itu kalimat yang membuat Larasati membisu lama.
Ia ingin membantah.
Ia ingin bilang bahwa ibunya egois.