PANGGIL SAJA AKU BUNGA

Nengshuwartii
Chapter #4

WYDIA

Wydia adalah gadis ceria yang manis. Senyumnya hangat, kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi dan ramping seperti model, dan rambutnya yang bergelombang membuat siapa pun yang melihatnya pasti menoleh dua kali. Ada sesuatu yang menenangkan dari cara dia berjalan, cara dia menyapa, cara dia tersenyum. Orang berkata, “Wydia itu perempuan sempurna.”

Tapi tak ada yang benar-benar tahu bahwa di balik kesempurnaan itu, ada badai besar yang ia sembunyikan rapat-rapat.

Sejak usianya masih cukup muda, Wydia sudah menjadi seorang Supervisor. Lima tahun lebih ia menempati posisi itu, dan semua pencapaiannya bukan jatuh dari langit. Ia bekerja keras, pulang larut malam, belajar sendiri di rumah, memperbaiki laporan yang tak ada habisnya, bahkan mengambil alih pekerjaan orang lain hanya agar timnya terlihat kompak.

Atasannya menyukainya, bukan karena ia cantik, tapi karena Wydia adalah pekerja yang tidak pernah mengeluh. Ia selalu mengambil tanggung jawab lebih banyak daripada kapasitasnya. Jika ditanya kenapa ia mau bekerja sekeras itu, jawabannya sederhana:

“Karena aku ingin membuktikan bahwa aku mampu.”

Latar belakang keluarganya juga tergolong baik. Ia lulusan Universitas Tarumanegara, ayahnya pegawai bank senior yang dihormati, dan ibunya seorang pedagang impor yang cukup sukses. Toko keluarganya besar, berada di kawasan perniagaan Asemka, tempat orang-orang sibuk berburu barang dagangan.

Hidup dari luar terlihat sangat ideal.

Namun, seperti kata pepatah, tak ada kehidupan yang benar-benar mulus. Entah ia kaya, miskin, atau sedang-sedang saja, setiap jiwa punya ujiannya sendiri.

Untuk Wydia, ujian itu adalah cinta.

GAGAL DALAM CINTA BERULANG KALI

Dalam pekerjaan ia sukses.

Dalam kehidupan sosial ia bersinar.

Namun dalam urusan cinta… ia rapuh sekali.

Setiap hubungan yang ia jalani selalu kandas.

Setiap lelaki yang ia beri hati selalu pergi.

Dan setiap mimpi tentang pernikahan berakhir menjadi luka yang tak pernah selesai dijahit.

Wydia tidak pernah mengerti apa yang salah. Ia bertanya pada dirinya berkali-kali:

“Kurang apa aku?”

“Apa aku tidak cukup baik?”

“Apa aku tidak pantas dicintai?”

Semakin ia bertanya, semakin ia tenggelam dalam tekanan. Ditambah lagi desakan orang tuanya, terutama ibunya yang tak pernah berhenti mengingatkan bahwa usianya sudah tidak muda lagi.

Pertanyaan yang paling ia benci adalah:

“Kapan menikah?”

Kata-kata itu seperti pisau tumpul yang menggores perlahan tapi menyakitkan.

Orang-orang mengucapkannya dengan santai, seolah-olah itu hanya pertanyaan ringan. Mereka tidak pernah tahu, di balik senyum yang Wydia paksakan setiap kali menjawab, ada ribuan luka yang berusaha ia sembunyikan.

TEKANAN YANG MENGUBAH DIRINYA

Karena terlalu sering mendengar tuntutan, Wydia mulai berubah. Ia tidak lagi menjadi Wydia yang dulu, yang penuh syukur dan menerima hidup apa adanya.

Sekarang ia menjadi seseorang yang penuh kecemasan.

Ia ingin terlihat berhasil, terlihat bahagia, terlihat memiliki segalanya.

Ia ingin membuktikan pada semua orang bahwa dia juga bisa menikah, bahwa hidupnya juga bisa “normal” seperti teman-temannya.

Wydia mulai menghalalkan segala cara demi mendapatkan cinta.

Ia terlalu memberi, terlalu bucin (budak cinta), terlalu menuruti semua kemauan pasangannya, tanpa memikirkan dirinya sendiri.

Ia tidak sadar bahwa ia sedang mengabaikan harga dirinya, hanya untuk mendapatkan pengakuan.

JATUH CINTA PADA PRIA YANG SALAH

Sampai suatu hari ia jatuh cinta lagi.

Laki-laki itu baik, perhatian, hangat dan yang lebih penting, ia membuat Wydia merasa tidak sendirian.

Untuk pertama kalinya, Wydia merasa hubungannya ini akan berbeda.

Lihat selengkapnya