PANGGIL SAJA AKU BUNGA

Nengshuwartii
Chapter #7

JATUH CINTA

Jatuh cinta itu menyenangkan. Kadang ia seperti bunga yang merekah tiba-tiba di halaman hati, membawa warna yang tak pernah kita minta. Tapi ada juga cinta yang tumbuh di tanah yang salah, pada orang yang tidak seharusnya kita tunggu. Dan malam itu, ketiga perempuan itu merasakan semuanya sekaligus indahnya, perihnya, lucunya, dan sakitnya cinta.

Sarah terbangun lebih dulu dari tidurnya yang kacau. Rambutnya berantakan, matanya sembab, tapi di bibirnya tersisa senyum kecil yang entah ia tujukan untuk dirinya sendiri atau untuk seseorang yang sedang ia pikirkan.

Di sudut ranjang, Wydia tidur dengan posisi wajah menutupi bantal, seperti seseorang yang tidak ingin menghadapi kenyataan. Sedangkan Larasati terlelap dengan pose sangat rapi, seperti sedang beristirahat setelah memenangkan pertarungan panjang dalam hidupnya.

Malam tadi, malam yang penuh tangis, tawa, dan patah hati masih melekat di kepala mereka.


Kenangan Wydia.

Wydia duduk di balkon kecil kamar hotel, memeluk lututnya sambil menatap lampu kota. Cinta pertamanya, harapannya, kebanggaannya, semua tersapu dalam satu pandangan singkat dari kaca mobil sang kekasih.

“Kenapa sih harus lihat dia malam ini…” gumamnya lirih.

“Karena Tuhan mau ngasih tahu sesuatu,” jawab Larasati dari dalam kamar.

Wydia menoleh. “Ngasih tahu kalau gue bodoh?”

Larasati tersenyum lembut. “Bukan. Ngasih tahu kalau lo layak dapet yang lebih baik.”

Sarah ikut mengangguk. “Iya, Wid. Dia aja yang nggak sadar kalau dia udah buang berlian.”

Wydia menutup wajahnya. “Gue cuma… gue sayang banget sama dia. Rasanya kayak... dunia gue ikut keluar dari mobil tadi.”

Sarah memeluknya dari samping. “Nggak apa-apa. Jatuh cinta memang rese. Tapi lo nggak sendirian.”

Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu, Wydia tersenyum kecil.


Kenangan Sarah.

Sarah duduk di lantai sambil memegang handphone. “Gue tuh bodoh banget ya… udah nunggu bertahun-tahun buat bilang perasaan gue ke Samuel. Tapi ujung-ujungnya… dighosting juga.”

“Dia bukan ghosting,” sela Larasati sambil menyisir rambutnya. “Dia cuma… ya, prioritasnya bukan lo.”

“Laras… itu sama aja,” sahut Sarah getir.

“Enggak,” jawab Wydia. “Kalau seseorang udah suka banget sama lo, dia pasti nemuin caranya. Sesimpel itu.”

Sarah mendesah. “Tapi gue suka banget sama dia…”

Wydia meraih tangan Sarah. “Sar, orang yang tepat nggak bakal bikin lo nunggu sampai capek.”

Dan malam itu, Sarah menangis lagi, tapi kali ini tangisnya ditemani dua orang yang benar-benar menyayanginya.


Pagi Hari, Momen Penentu.

Alarm handphone berbunyi. Larasati bangun paling cepat seperti biasa.

“Wid, Sar… bangun! Udah jam enam. Gue harus balik sebelum jam delapan. Ayah gue sendirian di rumah.”

Sarah hanya menggerakkan jari kakinya, Wydia hanya menggeliat tanpa membuka mata.

Larasati meraih bantal dan melemparnya pelan ke arah mereka. “Bangun oi! Kalian jatuh cinta, gue jatuh tanggung jawab. Bedain!”

Sarah bangkit dengan mata sepet. “Oke oke… gue bangun. Aduh kepala gue berat.”

“Minum air dulu,” kata Larasati sambil menuang.

Dan seperti ibu yang baik, Larasati memastikan dua temannya minum segelas penuh.

Larasati lalu mandi dan merapikan diri. Sesudah selesai, ia membangunkan keduanya lagi untuk berpamitan.

“Gue pulang dulu ya. Makasih buat malamnya meski penuh drama.” Ia tersenyum hangat.

Wydia memeluknya. “Makasih balik. Lo tuh… cahaya buat kita.”

Sarah menambahkan, “Hati lo tuh rumah, Las.”

Mereka tertawa ringan, lalu Larasati pun pulang.


Kejutan untuk Sarah.

Saat itu Sarah masih duduk lemas di ujung ranjang. Ia membuka handphone dan…

“OH TIDAK!”

Wydia kaget. “Apa lagi tuh?!”

“Dia kirim pesan! Dari jam TIGA PAGI! Aduh aduh aduh Wydiaaaa!”

Sarah memutar voice note Samuel.

Suara laki-laki itu terdengar lembut, penuh penyesalan.

"Sarah… aku minta maaf banget soal semalam. Aku bener-bener nggak bisa nolak mama. Ada acara keluarga mendadak. Aku salah nggak ngabarin kamu lebih cepat.

Kalau kamu bisa… aku tunggu jam tujuhan di tempat biasa kita sarapan."

Sarah langsung bangkit.

“Wid! Gue harus ketemu dia! Gue harus berangkat SEKARANG!”

“Baju lo mana?” tanya Wydia.

Sarah menunjuk baju hotelnya. “Ini aja deh!”

“Gila kali! Itu baju mandi hotel!”

Tanpa pikir panjang, Wydia membuka tasnya dan mengeluarkan blus putih kesayangannya.

“Pakai ini. Cepet!”

Mata Sarah berbinar. “Wid… lo malaikat atau manusia sih?”

“Gue manusia yang udah capek ngeliat lo patah hati melulu. CEPAT!”

Lihat selengkapnya