Puluhan hingga ratusan orang yang menertawakan dan menghinanya setiap hari sama sekali tak membuat rasa sakit yang ditimbulkan jadi tak terasa atau kehilangan makna. Entah kenapa tak peduli seberapa banyak orang di sekitarnya telah menyakitinya belum membuat ia terbiasa dengan penderitaan itu. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari dan demi satuan waktu yang terus jadi semakin besar.
“Itu pacarmu lewat. Kasih jalan dulu, dong,” ucap seorang siswa laki-laki dari kelas lain yang sama sekali tak ia kenali.
“Hahaha.”
“Hahaha.”
“Hee, nggilani,” respon seorang siswa sambil asyik tertawa dan memandang sebelah mata siswi berhijab yang lewat di antara mereka. Nggilani sendiri berarti menjijikkan dalam bahasa Jawa. Dan sejujurnya ia sama sekali tidak merasa jauh lebih kotor dibanding orang-orang yang baru saja mengucapkannya dengan mulut mereka yang bau busuk.
Koridor yang setiap hari harus ia lewati seorang diri untuk pergi ke kantin pun tak pernah terasa aman. Hanya cemoohan dan hinaan yang ia terima bahkan dari orang-orang yang sama sekali tak ia kenali. Memikirkan hal menyakitkan apa lagi yang akan terjadi terkadang seolah cukup untuk mengisi rasa lapar di perutnya agar berganti jadi rasa muak yang tidak terbendung.
Alhasil alih-alih pergi ke kantin seorang diri seperti yang biasa ia lakukan selama ini. Sorot matanya justru jauh lebih tertarik untuk pergi ke perpustakaan yang ada di lantai dua gedung yang terdapat di depan kantin. Untuk pergi ke sana pun ia hanya perlu naik tangga yang berukuran cukup besar dan melewati jembatan kecil menuju ruang perpustakaan.
“Assalamualaikum, Mbak,” salam gadis itu seolah sudah mengetahui apa yang akan ia hadapi di dalam perpustakaan. Yaitu seorang pustakawati yang sedang duduk di balik meja kerjanya dengan tatapan bosan menatap layar komputer untuk mengerjakan berbagai macam hal. Seperti biasa perpustakaan yang merupakan gudang ilmu itu kosong lagi hari ini karena tentu saja tak banyak siswa sepertinya yang punya cukup banyak waktu untuk membaca buku karena tidak punya teman.
“Malia, waalaikumussalam,” balas pustakawati muda bernama Rise itu ramah. Wajahnya yang tadi sangat suntuk jadi sedikit lebih semangat saat melihat siswi yang paling rajin datang ke perpustakaan sejak kelas sepuluh itu.
Alih-alih pergi ke barisan rak buku, gadis itu jauh lebih tertarik menarik bangku ke depan meja kerja pustakawati dan memulai interaksi dengan wanita bertubuh kecil itu. “Apa kabar, Mbak Rise?” tanyanya basa-basi.
Berusaha kembali fokus ke pekerjaannya, wanita itu menjawab, “Sebenarnya baik-baik aja, sih. Tapi, pekerjaan ini seperti tidak ada usainya. Baru selesai yang satu langsung ditambahi lagi. Bahkan sering sekali pekerjaannya belum selesai sudah ditambahi dengan banyak tugas lain.”
“Oh, memang kepala pustakawannya ke mana?” tanya gadis itu berlagak tidak tau.