Malia sudah tidak ingat kapan ia terakhir kali melaksanakan sholat Magrib di Masjid bersama neneknya karena khawatir isakan tangisnya di tengah prosesi ibadah akan mengganggu orang lain. Walau keresahan yang muncul belum bersedia pergi mengheningkan kembali pikirannya. Ia tetap berusaha keras untuk membuat semua terlihat baik-baik saja di luar.
Hari itu pun tiba. Hari di mana ia akan belajar dan hidup di pesantren selama beberapa hari. Ia merasa bisa sedikit tenang karena tipikal kehidupan pesantren yang akan mereka jalani bukanlah kehidupan para santri yang sesungguhnya. Karena kalau boleh jujur ia bukanlah seseorang yang sangat saleh dan bisa merasa nyaman dengan kehidupan ala puritan semacam itu.
Di pagi hari, lusinan siswi kelas dua belas telah berkumpul di halaman sekolah untuk menunggu mobil yang akan mengantarkan mereka ke pesantren yang terletak di tepi kota. Ini hanyalah kota kecil, batin Malia. Ia tak bisa membayangkan seperti apa pesantren yang akan mereka datangi. Tak juga ia bisa membayangkan apa saja yang akan ia hadapi. Ia temui.
Dadanya terus berdenyut karena diteror oleh perasaan takut.
“Malia, kamu duduk di depan saja, ya,” beritahu seorang siswi dari kelas lain. Walau jumlah siswi di angkatannya hanya sedikit jujur saja ia sama sekali tidak mengetahui siapa nama anak itu.
Ia pun naik ke atas mobil dan duduk di bagian depan sementara para siswi lain asyik Bersama dan saling bercengkrama di bagian belakang. Lagipula ia tak ingin bicara dengan siapa pun tak juga ingin mereka mengajaknya bicara. Seharusnya semua baik-baik saja, tapi entah kenapa rasa sakit itu tetap terasa.
Kendaraan beroda empat itu pun mulai melaju meninggalkan pekarangan sekolah. Dari bagian depan mobil tak henti ia dengar para siswi lain asyik berbicara menggunakan bahasa daerah yang hanya sedikit ia kuasai. Selama hampir tiga tahun bersekolah di kota kecil ini ia memang tak begitu banyak mengambil percakapan dengan orang lain. Tak heran logat bicaranya sebagai mantan penduduk ibukota sama sekali tak terpengaruh.
Setelah beberapa menit meninggalkan sekolah mobil itu mulai memasuki daerah perkampungan di pinggir kota. Sekolah mereka memang berada di pusat kota hingga perbedaan suasananya jadi cukup terasa. Deretan rumah dengan model sederhana yang berderet di tepi jalan dengan halaman besar tempat mereka menjemur hasil tani atau yang lain. Tak sedikit juga terlihat sawah yang padinya mulai menguning.
“Pesantrennya angker tidak ya, Pak?” tanya Malia tanpa sadar pada pak guru yang sedang mengemudi.
Sontak pria itu menjawab, “Waduh, mana ada angker. Namanya sekolah tempat belajar agama itu pasti dilindungi dari yang seperti itu. Pokoknya di sana tenang saja dan menurut sama pak ustadz. Semua akan baik-baik saja.”