Panggung Aksara

Aksara Dvaita Varna
Chapter #1

Tiga Nama, Satu Atap

Pagi itu, Rumah Langit—iya, nama pemiliknya memang Langit, bukan nama rumahnya doang—udah mirip medan perang kecil. Bukan, bukan perang beneran, tapi perang bantal atau mungkin perang remote TV antara dua manusia paling random di muka bumi ini. Di pojok dapur, ada Langit yang lagi sibuk dengan ritual pagi wajibnya: nyuapin Si Ciko, kucing persia gembul yang tingkahnya lebih mirip influencer ketimbang peliharaan biasa.

"Ciko, ayo dong, Nak. Jangan sok diet gitu deh, entar kamu kurus nggak lucu lagi," Langit ngedumel sendiri, sendok makana kucingnya di tangan kayak ibu-ibu lagi nyuapin balita. Rambutnya masih acak-acakan, pake kaus oblong kebesaran sama celana pendek motif polkadot yang entah dapet dari mana. Khas Langit banget, fashion sense-nya unik tapi entah kenapa tetep cakep.

Di ruang tengah, Angkasa, si paling rapi dan terorganisir di antara mereka bertiga, lagi merapikan kemejanya. Udah wangi, rambut sisir rapi, sepatu kinclong. Melihatnya, kadang rasanya pengen nanya, "Kak, mau kondangan di mana, Kak? Pagi-pagi udah on point gini?" Beda banget sama Langit yang kayak baru bangun dari hibernasi.

"Langit, jangan lupa loh nanti siang ada meeting sama dosen pembimbing. Jangan sampai telat, yang ada nanti dia ngamuk lagi," Angkasa mengingatkan dengan nada datar tapi jelas penuh perhatian. Matanya melirik jam dinding, seolah waktu adalah musuh yang harus ditaklukkan.

Langit cuma ngedehem doang, matanya fokus ke Ciko yang akhirnya mau juga ngunyah makanannya. "Iya, iya, tenang aja kali. Kan ada kamu, alarm hidupku." Dia nyengir. Angkasa cuma geleng-geleng kepala. Udah hafal sama kelakuan sahabatnya yang satu ini.

Nah, ini dia biang keroknya, Aksara. Dia baru nongol dari kamar, matanya masih setengah merem, rambutnya mirip sarang burung. Kaus band metal lawas, celana kolor buluk, dan jangan lupakan sendal jepit legendarisnya. Aura 'belum siap menghadapi kenyataan hidup' terpancar kuat dari dirinya.

"Pagi, gaes," sapanya, suaranya serak-serak khas orang bangun tidur. Dia langsung nyelonong ke kulkas, ambil air dingin, lalu minum langsung dari botolnya. Kebiasaan jorok yang udah jadi maklum di rumah ini.

"Pagi buta," sahut Langit tanpa menoleh, masih sibuk mengelus Ciko.

"Pagi yang terlalu pagi," Angkasa menimpali, sudah mulai menyusun buku-bukunya di tas.

Aksara cuma nyengir. Dia lirik jam dinding, matanya melotot. "HAH?! Udah jam segini?!"

Langit dan Angkasa kompak mendengus. Drama Aksara pagi hari, episode "Panik Telat" selalu jadi tontonan gratis.

"Key motorku mana ya? Kok nggak ada di meja?" Aksara mulai panik, tangannya meraba-raba meja makan, sofa, bahkan kolong meja. Ini momen lucu yang paling sering terjadi. Aksara, si seniman paling mager dan pelupa di muka bumi. Dia bisa hafal ratusan judul puisi dan lirik lagu, tapi kunci motor sendiri? Mission impossible.

"Kan semalam kamu gantung di samping pintu kamar mandi, Sa," kata Langit santai, kali ini sambil nyengir jahil ke Aksara.

Aksara langsung celingak-celinguk ke arah yang ditunjuk Langit. Dan benar saja, kunci motornya nangkring manis di sana. Dia nepuk jidat sendiri. "Astaga! Kok bisa sih? Aku lupa lagi."

"Makanya, Sa. Kamu itu otaknya dipake buat mikir kuliah, jangan cuma buat ngelamunin gebetan doang," ledek Langit, tawa kecilnya keluar.

Aksara cuma melotot. "Enak aja! Aku mikirin puisi anonim tahu! Puisi ini penting banget buat projek akhirku!"

Langit cuma ngangkat bahu. "Ya udah, sana berangkat. Jangan sampe telat. Atau mau aku anterin?"

Lihat selengkapnya