Panggung Aksara

Aksara Dvaita Varna
Chapter #4

Kopi, Kertas, dan Kekesalan

Sejak kejadian di rooftop dan drama puisi lebay itu, ada satu hal yang berubah drastis dari rutinitas Aksara: dia jadi rajin ngopi di taman kampus. Bukan karena dia tiba-tiba doyan kopi, tapi karena dia tahu, Indira si cewek galak nan puitis itu sering nongkrong di sana buat nugas. Iya, Aksara lagi modus. Ketahuan banget, kan?

Setiap sore, setelah jam kuliah bubar, Aksara pasti nyari spot PW di taman. Biasanya dia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang, sambil bawa laptop buat nyicil puisi atau cuma sekadar scroll media sosial. Matanya? Jangan ditanya. Pasti sesekali ngelirik ke arah meja batu di ujung taman, tempat di mana Indira sering kelihatan sibuk sama buku-bukunya.

"Aduh, Aksara, lo ini kenapa sih?" dia ngedumel sendiri, sambil pura-pura baca e-book di laptopnya. "Gak ada kerjaan apa ya selain ngestalkin cewek nyebelin itu?" Tapi hatinya bilang lain. Ada rasa penasaran yang nggak bisa dia bohongi. Indira itu unik. Galak, judgemental (khususnya soal puisinya!), tapi ada sesuatu yang bikin Aksara tertarik. Mungkin karena dia punya vibes yang beda banget sama dua sahabatnya di rumah.

Hari itu, seperti biasa, Indira sudah standby di mejanya. Laptop terbuka, buku-buku berserakan, muka serius, dan kacamata yang nangkring manis di hidungnya. Aksara nyengir, terus nyamperin kios kopi keliling di pinggir taman. Dia pesen es kopi susu kesukaannya. Sambil nunggu pesanan, matanya nggak lepas dari Indira.

Pas dia mau duduk di bangku kesayangannya, eh, mata Aksara malah ketemu sama mata Indira. Cewek itu kayaknya baru selesai nulis sesuatu di laptopnya, terus ngangkat kepala. Aksara langsung salah tingkah. Dia cuma nyengir awkward, terus buru-buru duduk.

"Ngapain lo senyum-senyum sendiri?" suara Indira tiba-tiba nyamber, bikin Aksara kaget.

"Hah? Siapa yang senyum-senyum? Gue lagi latihan pernapasan, Mbak," Aksara ngeles, sambil nyruput kopinya.

Indira mendengus. "Banyak gaya lo! Pasti lagi modusin gue ya?"

Aksara keselek kopi. "Uhuk! Ngawur! Pede banget lo! Gue lagi nyari inspirasi buat puisi gue yang nggak lebay ini, tahu!"

"Dih, emang ada ya puisi lo yang nggak lebay?" Indira nyindir, sambil nyengir jahil. "Palingan juga ujung-ujungnya tentang merana, rintik hujan, senja di balik jendela, atau apalah itu yang bikin gue eneg."

Aksara langsung pasang muka cemberut. Ini cewek emang hobi banget bikin gue kesel! "Enak aja! Puisi gue itu dalam, tahu! Lo aja yang otaknya nggak sampe!"

"Halah, sok puitis! Udah sini, gue mau nanya. Gimana sih pendapat lo tentang kebijakan pemerintah soal kenaikan harga BBM?" Indira tiba-tiba ganti topik, serius banget.

Aksara melongo. "Hah? Kok jadi BBM?" Dia lagi pengen bahas puisi, kok malah nyambung ke politik?

"Ya emang kenapa? Ini kan lagi hot-hotnya dibahas! Lo sebagai mahasiswa harus kritis dong, jangan cuma mikirin puisi galau doang!" Indira nyerocos, matanya nyalang.

Aksara menghela napas. Dia tahu ini bakal jadi awal dari debat panjang. Indira ini anaknya kritis banget. Dia kuliah Hubungan Internasional, jadi otaknya emang isinya isu-isu global dan politik. Beda banget sama Aksara yang anak Sastra dan otaknya isinya imajinasi liar.

"Menurut gue sih, kenaikan BBM itu... ya gimana ya? Emang sih dampaknya bakal kerasa banget buat rakyat kecil. Tapi di sisi lain, pemerintah juga pasti punya pertimbangan, kan? Mungkin buat pembangunan, atau buat subsidi yang lain," Aksara mulai mencoba berargumen, hati-hati banget.

Indira langsung menggeleng. "Itu mah alasan klasik! Harusnya pemerintah bisa cari solusi lain dong! Rakyat itu udah susah, ditambah lagi beban kayak gini. Lagian, lo liat aja, subsidi yang katanya dialihkan itu larinya ke mana? Transparansinya mana?"

"Ya kan nggak segampang itu juga, Mbak. Ngurus negara itu kompleks," Aksara membela.

Lihat selengkapnya