BAB DUA
PADA AKHIRNYA Tuan Besar benar-benar yang menjemput langsung Tuan Mr. F. Dengan berkendara menggunakan Automobil, mereka sampai pada pelataran rumahnya. Halamannya luas, juga dihiasi bunga-bungaan serta tumbuhan-tumbuhan liar yang dibiarkan hidup. Hari pertama sangat menyenangkan, bisa berada pada kawasan milik kepunyaan Tuan Besar itu.
Banyak pula kendaraan Automobil terparkir di bahu jalan di tiap satu rumah, juga jarak dari setiap halaman rumah disekat oleh pagar, jarak demi jarak. Benar-benar hidup menghendaki kawasan elit mirip di Eropa.
Ketika Tuan Mr. F menurunkan barang-barangnya berupa kopor-kopor, tiba-tiba ia teringat ibunya ketika melihat sosok perempuan, setengah baya, datang mendahului anak-anak serta seorang perempuan pribumi yang kemudian meminta diri untuk membantu membawakan kopor-kopor miliknya. Istri Tuan Besar itu merangkul tangan Tuan Mr. F, tak peduli mereka yang ada di belakang, kemudian ia beranjak mendekat pintu masuk menyambut Tuan Mr. F dengan hangat.
Cangkir teh sudah tersaji di atas meja ketika sampai di ruang tamu rumahnya. Ia persilahkan tamunya untuk duduk, lalu pribumi wanitu itu tanpa diperintah mendekati. Dengan kepala selalu menunduk, benar-benar tak pernah sekalipun ke arah sang tamu. Tuan Mr. F sempat meminta perempuan itu untuk berada tetap pada posisinya, dan ia pun menuruti. Terdiam membatu, menunggu perintah. Tanpa benar-benar merasa hidup, barang mirip benda pahatan.
Tuan Besar berkata banyak menyinggung soal-soal pekerjaan di perkebunan, namun tak pernah membicarakan tentang babu pribumi. Mengapa ia dan istrinya masih juga memelihara seorang babu di tanah Hindia ini? Di saat zaman yang semakin bergerak dan berganti menjadi modern ini, masih berkehendakkah orang-orang Belanda memelihara babu? Tuan Besar itu tetap menyinggung tentang pekerjaan, tapi pada akhirnya Tuan Mr. F sempat mengutarakan keresahannya.
"Bukan seperti orang kita. Ia mengaku muslim, yang kadang pula membuat aku terheran," bahu pria besar itu agak menurun tenang, "Bila ada hewan peliharaan kami, seekor anjing penjaga rumah ini, ia selalu bersikap menutup untuk menjauhinya. Padahal maksud hati anjing itu hanya ingin menunjukkan persahabatan. Hina bila terkena air liurnya saja. Cara mereka membersihkan najisnya saja kelewatan," ia biasa menegur dalam bahasa Melayu, yang juga Tuan Mr. F sedikit-sedikit mulai dipahami.
"Aku tak paham mengapa mereka sangat suka mengharamkan apa-apa yang paling disuka dalam keluarga ini," ia melanjutkan dengan bahasa Belandanya.
Ketika hari mulai larut, pembahasan mulai dialihkan pada masalah yang awalnya memang harus dibahas.
"Tuan bakal tahu nantinya. Pelarian buruh tak bisa dihindarkan. Beberapa tahun silam, juga merupakan yang paling terburuk bagi perusahaan," mungkin karena terlalu tertarik membicarakan pekerjaan, tak pernah ia menyesap teh panas yang ada di hadapannya itu.
"Seiring bertambahnya luas kebun beberapa tahun terakhir, kebutuhan pekerja juga ikut bertambah. Perusahaan juga bermaksud menambahkan tenaga kerja, namun sangat disayangkan biaya yang harus dikeluarkan juga besar. Maka dari situlah masalah timbul dari pekerja-pekerja. Juga menyinggung pembangunan Mess, tempat mereka tinggal, yang sengaja dibangun nyaman, sehat, dan hemat; dibangun juga menggunakan biaya yang tak sedikit."
Hari berganti, Tuan Mr. F berizin untuk bertolak pada alun-alun kota. Ia seharian berputar-putar di situ, kemudian kembali lagi ke tempat permulaan. Awalnya ia tertarik dengan adanya bangunan masjid, tempat orang-orang muslim beribadah, bangunannya tidak umum, juga sangat sederhana. Berbeda dengan negeri-negeri timur tengah.
Setegak habis sirup yang dihidangkan oleh seseorang yang mengaku Kyai di sana ketika ia tiba-tiba mendatangi tempat itu. Perlakukannya sangat menghormati orang-orang dari luar. Barang lebih menghendaki sebagai tamu. Tuan Mr. F diberi izin untuk mengunjungi rumahnya, tak jauh, lalu banyak ia bercerita tentang dirinya, tentang keluarga, tentang agamanya. Tuan Mr. F cukup paham tentang keberagaman agama di bumi hindia ini, juga Kyai itu menaruh perhatian pada agamanya, sebab Tuan Mr. F dibesarkan oleh keluarga jemaat yang taat di negeri kelahirannya.
Sore hari mereka berbincang hal-hal yang mengusik hati, namun tidak juga menutup kemungkinan semakin malam semangat Tuan Mr. F untuk berbincang lebih dalam lagi. Tentang apa-apa yang menyangkut Pribumi Hindia, tak lain juga menyangkut kepercayaan yang mereka pegang teguh. Tak menutup kemungkinan, karena terpukau, Tuan Mr. F menyalami Kyai itu dengan nama yang diberikannya: Tuan yang berhati mulia. Ia sangat suka menyanjung, juga pula menghendaki sanjungan, namun juga tidak berlebihan. Sebab katanya, Tuhannya tak suka suatu hal berlebihan, dalam segala hal apapun.